BAB 1
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Dalam
ekonomi yang modern, uang tidak hanya terdiri atas uang primer, tapi
juga “uang” yang diciptakan oleh sistem perbankan atau sering dikenal
sebagai “uang bank”. Pada umumnya, untuk suatu laju pertumbuhan uang
primer tertentu, pertumbuhan uang bank dan juga kredit perbankan
ditentukan secara simultan oleh perilaku sistem perbankan dan masyarakat
diluar perbankan. Secara teoritis dianggap bahwa pemberian kredit
perbankan kepada sektor swasta akan berinteraksi dengan
komponen-komponen pasar uang. (Insukindro,1995:111)
Ada
ketergantungan antara kredit perbankan dan pasar uang, yang mana hal ini
kadang sulit dipahami. Namun dalam globalisasi, semua komponen ekonomi
dalam perekonomian suatu negara akan menentukan arah kemajuan
perekonomian negara tersebut dan bahkan dapat berimbas pada perekonomian
negara lain. Agar dapat memahami masalah tersebut, maka makalah ini
akan membahas mengenai asal mula dan dampak krisis subprime mortgage
(KPR murah) yang telah terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2007 lalu,
namun dampaknya masih terasa hingga kini. Selain itu, makalah ini juga
akan membahas mengenai kebijakan-kebijakan yang diambil bank sentral
untuk mengatasi krisis ini.
B.Rumusan Masalah
Dari uraian yang dikemukakan diatas, permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1)Bagaimana asal mula terjadinya krisis subprime mortgage ?
2)Bagaimana dampak krisis subprime mortgage ?
3)Bagaimana tindakan bank sentral untuk mengatasi krisis subprime mortgage ?
C.Tujuan
Dari rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1)Mengetahui asal mula terjadinya krisis subprime mortgage.
2)Mengetahui dampak krisis subprime mortgage.
3)Mengetahui tindakan bank sentral untuk mengatasi krisis subprime mortgage.
D.Manfaat
Penulisan makalah ini diharapkan mampu memberikan manfaat antara lain :
1.Manfaat Praktis
Hasil
dari makalah ini diharapkan dapat menguak dan menambah pengetahuan
serta informasi mengenai asal mula dan dampak krisis subprime mortgage
serta kebijakan bank sentral untuk mengatasinya.
2.Manfaat Teoritis
Bagi
mahasiswa, makalah ini diharapkan dapat memperkaya dan memberikan
sumbangan konseptual bagi pengembangan kajian hubungan antara kredit
perbankan dengan pasar uang, khususnya yang berhubungan dengan krisis
subprime mortgage.
BAB 2
Pembahasan
A.Asal Mula Krisis Subprime Mortgage
Pada
2001-2005, pertumbuhan perumahan di Amerika Serikat menggelembung
seiring rendahnya suku bunga perbankan akibat kolapsnya indutri dotcom.
Sejak 1995, industri dotcom (saham-saham teknologi) di AS lebih dulu
booming, namun kolaps dan menyebabkan banyak perusahaan jenis ini tak
mampu membayar pinjaman ke bank. Untuk menyelamatkan mereka, The Fed
menurunkan suku bunga, sehingga suku bunga menjadi rendah. Suku bunga
yang rendah dimanfaatkan pengembang dan perusahaan pembiayaan perumahan
untuk membangun perumahan murah dan menjualnya melalui skema subprime
mortgage. Gelembung perumahan ini terjadi di banyak negara bagian,
seperti California, Florida, New York, dan banyak negara bagian di barat
daya.
Saat bisnis perumahan mulai booming pada tahun 2001 ini,
banyak warga AS berkantong tipis yang membeli rumah murah melalui skema
subprime mortgage (KPR murah). Pada tahun 2006, ketika koreksi pasar
mulai menyentuh gelembung bisnis perumahan di AS, ekonom Universitas
Yale, Robert Shiller memperingatkan bahwa harga rumah akan naik melebihi
aslinya. Koreksi pasar ini, menurutnya, bisa berlangsung tahunan dan
menyebabkan penurunan nilai rumah-rumah tersebut hingga muliaran dolar
AS. Peringatan itu mulai terbukti ketika pada akhir 2006, sebanyak 2,5
juta warga AS yang membeli rumah melalui skema tadi tak mampu membayar
cicilan. Harga rumah yang mereka kredit melambung tinggi, bahkan ada
yang sampai 100% dari nilai awalnya. Akibatnya, menurut laporan
perusahaan penyedia data penyitaan rumah di AS, RealtyTrac, sebanyak itu
pula, rumah yang akan disita dari penduduk AS.
RealtyTrac
mencatat pengumuman lelang sebanyak 179.599 yang mencakup 2,5 juta rumah
yang dinyatakan disita karena gagal bayar. Ini adalah jumlah penyitaan
terbanyak selama 37 tahun. Penyitaan besar-besaran ini jelas dapat
menimbulkan banyak warga AS menjadi tuna wisma mendadak, dan bisa
menjadi masalah sosial baru.
Tidak semua warga negara AS
memiliki uang yang cukup untuk membeli rumah atau memiliki sejarah
kredit yang baik. Kebanyakan dari mereka adalah pengangguran,
pekerja-pekerja seperti office boy, pedagang kecil, dan pembersih rumah
atau kantor. Sebenarnya, mereka dianggap tidak layak mendapatkan
pinjaman untuk memiliki rumah murah, karena sejarah kreditnya kurang
baik dan tidak memiliki pendapatan yang cukup untuk mencicil. Untuk
itulah diadakan subprime mortgage.
Pembiayaan jenis ini
sebenarnya berisiko, baik bagi kreditor maupun debitor, karena bunganya
yang tinggi, sejarah kredit peminjam yang buruk, dan kemampuan keuangan
peminjam yang rendah. Kamus online Wikipedia menjelaskan, Subprime
Lenders (Pemberi pinjaman), biasanya adalah lembaga pembiayaan
perumahan, mengumpulkan berbagai utang itu (pool) dan menjualnya kepada
bank komersial. Oleh bank komersial, sebagian portofolio tersebut dijual
lagi kepada bank investasi. Oleh bank investasi, kumpulan utang
tersebut dijual kepada investor di seluruh dunia seperti bank komersial,
perusahaan asuransi, maupun investor perorangan.
Kumpulan utang
tersebut dinamakan Mortgage-Backed Securities (MBS) yang merupakan
bentuk utang yang dijamin. MBS ini termasuk salah satu bentuk transaksi
derivatif yang penuh risiko. Ketika pembeli rumah membayar bunga, baik
pada cicilan bulanan atau pada saat pelunasan, pembeli MBS mendapat
pendapatan. Layaknya transaksi derivatif lain, MBS bisa dibeli dari
tangan pertama atau berikutnya. Artinya, investor yang sudah membeli MBS
bisa menjualnya lagi ke investor lain. Perolehan pendapatan dibagi
menurut jenjang atau senioritas pembeli MBS ini. Dan ini menjadi beban
seluruhnya bagi pembeli rumah. Ini membuat nilai yang harus dibayar
pembeli rumah melambung tinggi hingga 100% dari nilai aslinya.
Meskipun
tergolong kredit berisiko tinggi, bank investasi dan hedge fund (HF)
tetap memainkan instrumen ini, karena para investor dari golongan pemain
baru banyak yang tertarik membeli MBS. Ditambah lagi ada dukungan
pemeringkatan yang dibuat lembaga seperti Standard & Poor’s
(S&P).
Akibatnya, menjelang 2007, pembeli rumah dengan skema
ini tak sanggup mencicil kredit rumah murah tersebut lantaran semakin
sulitnya perekonomian AS. Ketika ini terjadi, satu-satunya jaminan bagi
MBS adalah rumah-rumah itu sendiri. Namun, karena penawaran perumahan
ternyata melebihi permintaan seiring gelembung industri perumahan dalam
2001-2005, nilai rumah-rumah itupun turun, tidak sesuai lagi dengan
nilai yang dijaminkan dalam MBS. Sementara bank investasi dan HF harus
tetap memberi pendapatan berupa bunga kepada para investornya. Inilah
asal mula terjadinya krisis subprime mortgage yang berimbas ke seluruh
dunia.
BBC menyebutkan aktor-aktor yang berperan dalam krisis ini antara lain adalah :
1)Kreditor Perumahan Murah
Banyak
perusahaan di AS yang memiliki spesialisasi memberikan kredit perumahan
bagi orang-orang yang sebenarnya tidak layak di beri kredit subprime
lenders. Para perusahaan tersebut berani memberikan kredit karena kalau
terjadi gagal bayar, perusahaan tinggal menyita dan menjual kembali
rumah yang dikreditkan.
Untuk membiayai kredit ini para perusahaan
ini umumnya juga meminjam dari pihak lain dengan jangka waktu kredit
yang pendek sekitar 1-2 tahun, padahal kredit yang dibiayai merupakan
kredit perumahan jangka panjang sampai 20 tahun. Sehingga terjadi
ketimpangan (mismatch) kredit.
Akibat gagal bayar terhadap kredit
perumahan tersebut, membuat banyak perusahaan kredit perumahan iini
tidak mampu membayar kembali utangnya yang berujung pada bangkrutnya
beberapa perusahaan tersebut. Saham perusahaan lain yang tidak mengalami
kebangkrutan juga turunt terimbas sentimen negatif dan membuat takut
investor.
Selain pinjaman dari pihak ketiga, para perusahaan
pembiayaan kredit rumah ini juga menerbitkan semacam efek beragun aset
(EBA) yang dijual ke perbankan dan investor baik institusi maupun
individu ke berbagai negara. EBA ini juga merupakan instrumen untuk
membagi risiko. Namun yang terjadi justru sebaliknya, kekhawatiran
terhadap kemungkinan gagal bayar para debitor yang tidak layak tersebut
justru berdampak pada investor secara global baik yang memiliki EBA
tersebut maupun investor yang hanya terimbas sentimen negatif.
2)Perusahaan Pemeringkat
Perusahaan
pemeringkat seperti Moody's dan Standard and Poor's diduga ikut ambil
bagian dalam krisis subprime mortgage ini. Perusahaan - perusahaan
pemeringkat ini dinilai terlalu lamban mengantisipasi bahaya gagal bayar
utang kredit perumahan itu. Padahal tugas lembaga pemeringkat adalah
mengevaluasi obligasi atau instrumen utang lainnya dan memberikan rating
yang mencerminkan risiko instrumen utang tersebut.
3)Investment Banks (Bank Investasi)
Investment
Banks seperti Goldmas Sachs, Bear Strearns dan Morgan Stanley juga ikut
terlibat dalam terjadi krisis subprime mortgage ini. Karena mereka
memiliki spesialisasi mengembangkan instrumen investasi seperti EBA yang
dijual ke perbankan dan institusi keuangan. Investment Banks ini juga
terkena imbas dan merugi dibeberapa dana investasinya yang terkait
dengan utang berisiko tinggi.
Sementara bank sentral dan private
equity fund dicatat sebagai pihak yang paling besar terimbas dampak
krisis ini. Private equity fund adalah manajer investasi yang merancang
pembelian dan penjualan perusahaan. Mereka umumnya meminjam uang dengan
bunga rendah yang digunakan untuk membeli saham di bursa. Saham yang
dibeli umumnya dijaga performanya agar menarik minat investor lain untuk
membeli. Saham tersebut akan dijual setelah harganya tingginya dalam
waktu yang tidak lama.
Sedangkan bank sentral dunia seperti Bank
of England (BoE), US Federal Reserve (The Fed) dan European Central
Bank (ECB) sebagai pihak yang merancang tingkat suku bunga demi
mengontrol inflasi dan menjaga pertumbuhan ekonomi. Kebijakan tingkat
bunga rendah itulah yang memicu pasar untuk melakukan investasi besar di
perumahan. Namun kini bank sentral harus menggelontorkan banyak dana ke
pasar untuk menyuplai kebutuhan dana kas yang besar.
B.Dampak Krisis Subprime Mortgage
Pemilik
surat utang Subprime Mortgage bukan hanya perbankan di Amerika Serikat,
tapi juga perbankan di Australia, Cina, India, Taiwan, dan
negara-negara lainnya. Dampaknya, harga saham perbankan di seluruh dunia
jatuh. Hal ini pun menyulut kekhawatiran para pelaku pasar, karena
bermasalahnya bank akan berdampak pada melemahnya kegiatan perekonomian.
Peraturan Bank Indonesia tidak memungkinkan perbankan membeli surat
utang berperingkat rendah sehingga perbankan Indonesia tidak memiliki
surat utang subprime mortgage. Akan tetapi, karena harga saham perbankan
di negara tetangga jatuh, investor asing juga menjual saham perbankan
dan nonperbankan di Indonesia. Investor lokal akhirnya juga ikut
melakukan aksi jual. Apalagi harga saham dan harga obligasi di Indonesia
sudah naik banyak, maka investor pun melakukan aksi ambil untung.
Inilah yang menyebabkan harga saham turun, imbal hasil obligasi naik
(harga turun) dan kurs rupiah melemah, bahkan minat terhadap penawaran
saham BNI juga sempat terganggu.
Sterilnya perbankan dan
korporasi Indonesia dari kepemilikan subprime mortgage menyebabkan
dampak krisis pada pasar keuangan domestik berupa pelepasan surat
berharga domestik terutama SUN dan SBI oleh investor asing. Pada bulan
Juli dan Agustus 2007 terjadi penurunan kepemilikan asing pada SUN dan
SBI yang cukup signifikan. Investor asing diperkirakan equity friendly
dan cenderung mengalihkan penanaman dari SUN pada equity atau risk free
treasury bill. Hal ini terkait dengan tingginya supply risk SUN atas
potensi penurunan SUN valas akibat kenaikan premi resiko dan peningkatan
SUN rupiah. (Neraca Pembayaran Indonesia 2007)
Pada bulan
Agustus 2007, harga-harga saham di BEJ (Bursa Efek Jakarta) mengalami
koreksi, akibat masih berlanjutnya tekanan di bursa Wall Street dan
regional, menyusul meluasnya dampak krisis subprime mortgage di dunia.
Banyaknya koreksi mengaibatkan IHSG turun 89,112 poin atau 4,11 % pada
satu jam pertama perdagangan tanggal 15 Agustus 2007. Turunnya IHSG
memicu melemahnya nilai tukar rupiah saat itu, dari Rp 9000 menjadi Rp
9400. Dow Jones Industrial Average juga kehilangan 207,61 poin atau
turun 1,57 %. Masih dalam periode waktu yang sama, indeks Nikkei
mengalami kemerosotan 267,22 poin. Penurunan drastis ini dapat dilihat
dalam grafik perkembangan pasar modal di Asia Pasifik dan pasar modal di
Barat dan Jepang.
Koreksi besar-besaran yang terjadi akibat
krisis subprime mortgage ini juga merambat ke sektor-sektor lainnya.
Kepanikan antara Februari – Maret 2007 menyebabkan saham-saham dari
sektor mortgage (hipotek) -19%, sektor finansial -10%, dan semua bidang
-6%. Kemudian pada Juni-Juli 2007 saham-saham mortgage turun lagi hingga
-41%, dan saham-saham keuangan -18%.
Dampak subprime mortgage
Amerika Serikat di Indonesia memang sebesar dampaknya pada negara-negara
lain, karena adanya peraturan BI yang tidak memungkinkan perbankan
membeli surat utang berperingkat rendah. Namun, sebenarnya dampak krisis
finansial ini masih tersisa di dunia. Pada 3 Maret 2008,
tempointeraktif.com menyebutkan bahwa pasar saham Asia jatuh setelah UBS
AG memprediksikan bahwa perusahaan keuangan global kemungkinan akan
kehilangan sekitar US$ 600 miliar karena kredit macet hipotek perumahan
subprime mortgage di Amerika Serikat. Westpac Banking Corp. merugi 3,3
persen sedangkan Macquarie Group Ltd. kembali tergelincir di hari
ketiga. Pemasukan uang dalam perdagangan Amerika menurun 4,7 persen dari
penutupan saham di Tokyo 29 Februari 2008, dimana Sony Corp. rugi 3,6
persen, setelah Yen menguat terhadap dolar, sehingga mengurangi
pendapatan di luar negeri. Index Australia anjlok S&P/ASX 200 hingga
2,9 persen menjadi 5,410.90 pada pukul 10.12 di Sydney. Index New
Zealand's NZX 50, yang menjadi patokan Asia untuk memulai perdagangan,
turun 1,1 persen menjadi 3,542.16 di Wellington.
C.Kebijakan Bank Sentral Untuk Mengatasi Krisis Subprime Mortgage
Krisis
Subprime Mortgage yang terjadi di Amerika Serikat menginfeksi bursa
saham di seluruh dunia dan mengancam stabilitas banyak mata uang di
dunia. Selain USD yang menjadi labil, sejumlah mata uang lain seperti
rupiah pun sempat jatuh. Diperlukan intervensi kebijakan dari bank
sentral Amerika (The Fed) untuk menstabilkan pasar. Karena The Fed
bertanggung jawab menjaga kinerja ekonomi AS jangka panjang dan
kestabilan harga-harga di AS.
Untuk mengatasi kekurangan
likuiditas di pasar modal, bank sentral negara-negara maju yang bursanya
terkait dengan industri subprime mortgage menggelontorkan dana ke pasar
uang (open market operations) dengan memasuki transaksi Repo
(Repurchase Agreement). Ini untuk menjaga stabilitas nilai tukar mereka
dan menumbuhkan sentimen positif akan bursanya. Diawali pada 9 Agustus
2007, The Fed mengeluarkan USD 30 miliar untuk menjaga likuiditas
investor subprime mortgage yang merugi. Pada 10 Agustus, The Fed
menambahnya USD 36 miliar. Penambahan ini terus berlangsung hingga 16
Agustus 2007, dan mencapai jumlah USD 29 miliar.
Untuk memulihkan
stabilitas, The Fed juga menyuntikkan dana ke sistem perbankan dan
keuangannya. Pada 9-10 Agustus, The Fed menyuntikkan USD 24 dan 68
miliar. Di Eropa, pada 10 Agustus 2007 The European Central Bank (ECB)
menyuntikkan dana USD 61 miliar. Pada 13 Agustus, ECB menambah lagi USD
47,67 miliar, dan di Jepang, The Bank of Japan (BoJ) menyuntikkan dana
600 miliar Yen.
Selain itu, mengingat pemicu utama kredit macet
subprime mortgage adalah bunga yang tinggi, maka pada 17 Agustus 2007
The Fed menurunkan suku bunga diskonto hingga 50 basis poin menjadi
5,75%. Langkah ini lalu diikuti penyesuaian praktek discount window
biasa untuk memfasilitasi persyaratan terkait periode pemberian pinjaman
selama 30 hari yang dapat diperbarui oleh nasabah peminjam. Dengan
diturunkannya suku bunga, maka akan ada kelonggaran bagi peminjam
subrime mortgage untuk melunasi utangnya kepada pemberi pinjaman. Itu
juga berarti, surat utang berbasis subprime mortgage yang kini banyak
dipegang investor seluruh dunia kembali memperoleh jaminannya dan
kembali bernilai.
Langkah ini mampu menahan kejatuhan banyak
bursa saham di Dunia. Bagi bursa saham Indonesia, kebijakan The Fed ini
juga bermanfaat untuk memulihkan sentimen positif. Karena, setelah
merebaknya krisis subprime mortgage, para pelaku pasar mulai
mengkhawatirkan risiko berinvestasi di negara berimbal hasil tinggi
khususnya di negara berkembang. Inilah yang dulu menyebabkan pelaku
pasar menarik investasinya, baik yang berupa saham maupun valas dari
negara-negara berkembang. Dengan diturunkannya suku bunga The Fed, maka
Indeks Dow Jones kembali stabil dan pasar mulai tenang. Selain itu,
langkah ini pun diikuti intervensi dari pemerintah-pemerintah negara
seluruh dunia.
Akan tetapi risiko masih ada. Para analis pasar
merasa tetap perlu melihat kinerja perusahaan-perusahaan sekuritas dan
bank investasi yang terkait dengan subprime mortgage. Itulah sebabnya,
pada Maret 2008, pasar saham kembali jatuh. Karena ternyata imbasnya
terhadap perusahaan-perusahaan keuangan sedemikian besar. Vice President
Head of Management Fund Trimegah Securities, Fajar Hidayat, menyebut
subprime mortgage ini sebagai kanker yang tidak diketahui kapan akan
berhenti dan sejauh mana reaksi yang ditimbulkannya.
BAB 3
Penutup
A.Kesimpulan
Krisis
Subprime Mortgage Amerika Serikat terutama disebabkan oleh investor
yang tidak memperhatikan faktor fundamental portofolio yang dibelinya,
dan penyaluran kredit yang menyimpang dari prinsip 5 C (Character,
Capacity, Collateral, Condition, Capital). Akibat adanya globalisasi,
dimana transaksi keuangan bisa terjadi lintas negara, bahkan lintas
dunia, maka dampak krisis subprime mortgage AS ini menginfeksi bursa
saham di seluruh dunia, mengakibatkan penurunan harga saham
besar-besaran, dan membangkitkan kepanikan para investor. Untuk
mengatasinya, diperlukan intervensi bank sentral, terutama The Fed,
melalui kebijakan open market operation dan penurunan tingkat suku bunga
diskonto.
B.Saran
1)Kepada investor, agar lebih memperhatikan faktor fundamental porotfolio yang dibelinya.
2)Kepada
masyarakat agar tidak mudah tergoda iming-iming kredit perumahan murah,
bila dirinya sendiri tidak memenuhi kualifikasi untuk mengembalikan
pinjamannya.
BAB 3
Daftar Pustaka
Aji, Ibrahim. 2007. Gelembung nan Rentan Itupun Pecah. dalam majalah Sharing edisi khusus tahun I/Oktober 2007 halaman 70-71.
__________, dan Yudi Suharso. KPR Amerika Sumber Bencana. dalam majalah Sharing edisi khusus tahun I/Oktober 2007 halaman 67-69.
Bank Indonesia. 2008. Neraca Pembayaran Indonesia 2007. www.bi.go.id [20/03/2008]
en.wikipedia.com/Subprime lending [08/05/2008/14:40]
en.wikipedia.com/Subprime mortgage crisis [08/05/2008/14:39]
ihedge.wordpress.com [08/05/2008/15:07]
Insukindro. 1995. Ekonomi Uang dan Bank, Teori dan Pengalaman di Indonesia. Yogyakarta: BPFE.
Kusuma, Sid H. Memahami Subprime Mortgage AS. www.detik.com/3 September 2007.
Wibisono, Andrian. 2007. Inilah Para Aktor Penyebab Krisis Subprime Mortgage. www.detik.com/ 17 Agustus 2007.
www.tempointeraktif.com [08/05/2008/15:43]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar