BAB 1
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Dalam
ekonomi yang modern, uang tidak hanya terdiri atas uang primer, tapi
juga “uang” yang diciptakan oleh sistem perbankan atau sering dikenal
sebagai “uang bank”. Pada umumnya, untuk suatu laju pertumbuhan uang
primer tertentu, pertumbuhan uang bank dan juga kredit perbankan
ditentukan secara simultan oleh perilaku sistem perbankan dan masyarakat
diluar perbankan. Secara teoritis dianggap bahwa pemberian kredit
perbankan kepada sektor swasta akan berinteraksi dengan
komponen-komponen pasar uang. (Insukindro,1995:111)
Ada
ketergantungan antara kredit perbankan dan pasar uang, yang mana hal ini
kadang sulit dipahami. Namun dalam globalisasi, semua komponen ekonomi
dalam perekonomian suatu negara akan menentukan arah kemajuan
perekonomian negara tersebut dan bahkan dapat berimbas pada perekonomian
negara lain. Agar dapat memahami masalah tersebut, maka makalah ini
akan membahas mengenai asal mula dan dampak krisis subprime mortgage
(KPR murah) yang telah terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2007 lalu,
namun dampaknya masih terasa hingga kini. Selain itu, makalah ini juga
akan membahas mengenai kebijakan-kebijakan yang diambil bank sentral
untuk mengatasi krisis ini.
B.Rumusan Masalah
Dari uraian yang dikemukakan diatas, permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1)Bagaimana asal mula terjadinya krisis subprime mortgage ?
2)Bagaimana dampak krisis subprime mortgage ?
3)Bagaimana tindakan bank sentral untuk mengatasi krisis subprime mortgage ?
C.Tujuan
Dari rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1)Mengetahui asal mula terjadinya krisis subprime mortgage.
2)Mengetahui dampak krisis subprime mortgage.
3)Mengetahui tindakan bank sentral untuk mengatasi krisis subprime mortgage.
D.Manfaat
Penulisan makalah ini diharapkan mampu memberikan manfaat antara lain :
1.Manfaat Praktis
Hasil
dari makalah ini diharapkan dapat menguak dan menambah pengetahuan
serta informasi mengenai asal mula dan dampak krisis subprime mortgage
serta kebijakan bank sentral untuk mengatasinya.
2.Manfaat Teoritis
Bagi
mahasiswa, makalah ini diharapkan dapat memperkaya dan memberikan
sumbangan konseptual bagi pengembangan kajian hubungan antara kredit
perbankan dengan pasar uang, khususnya yang berhubungan dengan krisis
subprime mortgage.
BAB 2
Pembahasan
A.Asal Mula Krisis Subprime Mortgage
Pada
2001-2005, pertumbuhan perumahan di Amerika Serikat menggelembung
seiring rendahnya suku bunga perbankan akibat kolapsnya indutri dotcom.
Sejak 1995, industri dotcom (saham-saham teknologi) di AS lebih dulu
booming, namun kolaps dan menyebabkan banyak perusahaan jenis ini tak
mampu membayar pinjaman ke bank. Untuk menyelamatkan mereka, The Fed
menurunkan suku bunga, sehingga suku bunga menjadi rendah. Suku bunga
yang rendah dimanfaatkan pengembang dan perusahaan pembiayaan perumahan
untuk membangun perumahan murah dan menjualnya melalui skema subprime
mortgage. Gelembung perumahan ini terjadi di banyak negara bagian,
seperti California, Florida, New York, dan banyak negara bagian di barat
daya.
Saat bisnis perumahan mulai booming pada tahun 2001 ini,
banyak warga AS berkantong tipis yang membeli rumah murah melalui skema
subprime mortgage (KPR murah). Pada tahun 2006, ketika koreksi pasar
mulai menyentuh gelembung bisnis perumahan di AS, ekonom Universitas
Yale, Robert Shiller memperingatkan bahwa harga rumah akan naik melebihi
aslinya. Koreksi pasar ini, menurutnya, bisa berlangsung tahunan dan
menyebabkan penurunan nilai rumah-rumah tersebut hingga muliaran dolar
AS. Peringatan itu mulai terbukti ketika pada akhir 2006, sebanyak 2,5
juta warga AS yang membeli rumah melalui skema tadi tak mampu membayar
cicilan. Harga rumah yang mereka kredit melambung tinggi, bahkan ada
yang sampai 100% dari nilai awalnya. Akibatnya, menurut laporan
perusahaan penyedia data penyitaan rumah di AS, RealtyTrac, sebanyak itu
pula, rumah yang akan disita dari penduduk AS.
RealtyTrac
mencatat pengumuman lelang sebanyak 179.599 yang mencakup 2,5 juta rumah
yang dinyatakan disita karena gagal bayar. Ini adalah jumlah penyitaan
terbanyak selama 37 tahun. Penyitaan besar-besaran ini jelas dapat
menimbulkan banyak warga AS menjadi tuna wisma mendadak, dan bisa
menjadi masalah sosial baru.
Tidak semua warga negara AS
memiliki uang yang cukup untuk membeli rumah atau memiliki sejarah
kredit yang baik. Kebanyakan dari mereka adalah pengangguran,
pekerja-pekerja seperti office boy, pedagang kecil, dan pembersih rumah
atau kantor. Sebenarnya, mereka dianggap tidak layak mendapatkan
pinjaman untuk memiliki rumah murah, karena sejarah kreditnya kurang
baik dan tidak memiliki pendapatan yang cukup untuk mencicil. Untuk
itulah diadakan subprime mortgage.
Pembiayaan jenis ini
sebenarnya berisiko, baik bagi kreditor maupun debitor, karena bunganya
yang tinggi, sejarah kredit peminjam yang buruk, dan kemampuan keuangan
peminjam yang rendah. Kamus online Wikipedia menjelaskan, Subprime
Lenders (Pemberi pinjaman), biasanya adalah lembaga pembiayaan
perumahan, mengumpulkan berbagai utang itu (pool) dan menjualnya kepada
bank komersial. Oleh bank komersial, sebagian portofolio tersebut dijual
lagi kepada bank investasi. Oleh bank investasi, kumpulan utang
tersebut dijual kepada investor di seluruh dunia seperti bank komersial,
perusahaan asuransi, maupun investor perorangan.
Kumpulan utang
tersebut dinamakan Mortgage-Backed Securities (MBS) yang merupakan
bentuk utang yang dijamin. MBS ini termasuk salah satu bentuk transaksi
derivatif yang penuh risiko. Ketika pembeli rumah membayar bunga, baik
pada cicilan bulanan atau pada saat pelunasan, pembeli MBS mendapat
pendapatan. Layaknya transaksi derivatif lain, MBS bisa dibeli dari
tangan pertama atau berikutnya. Artinya, investor yang sudah membeli MBS
bisa menjualnya lagi ke investor lain. Perolehan pendapatan dibagi
menurut jenjang atau senioritas pembeli MBS ini. Dan ini menjadi beban
seluruhnya bagi pembeli rumah. Ini membuat nilai yang harus dibayar
pembeli rumah melambung tinggi hingga 100% dari nilai aslinya.
Meskipun
tergolong kredit berisiko tinggi, bank investasi dan hedge fund (HF)
tetap memainkan instrumen ini, karena para investor dari golongan pemain
baru banyak yang tertarik membeli MBS. Ditambah lagi ada dukungan
pemeringkatan yang dibuat lembaga seperti Standard & Poor’s
(S&P).
Akibatnya, menjelang 2007, pembeli rumah dengan skema
ini tak sanggup mencicil kredit rumah murah tersebut lantaran semakin
sulitnya perekonomian AS. Ketika ini terjadi, satu-satunya jaminan bagi
MBS adalah rumah-rumah itu sendiri. Namun, karena penawaran perumahan
ternyata melebihi permintaan seiring gelembung industri perumahan dalam
2001-2005, nilai rumah-rumah itupun turun, tidak sesuai lagi dengan
nilai yang dijaminkan dalam MBS. Sementara bank investasi dan HF harus
tetap memberi pendapatan berupa bunga kepada para investornya. Inilah
asal mula terjadinya krisis subprime mortgage yang berimbas ke seluruh
dunia.
BBC menyebutkan aktor-aktor yang berperan dalam krisis ini antara lain adalah :
1)Kreditor Perumahan Murah
Banyak
perusahaan di AS yang memiliki spesialisasi memberikan kredit perumahan
bagi orang-orang yang sebenarnya tidak layak di beri kredit subprime
lenders. Para perusahaan tersebut berani memberikan kredit karena kalau
terjadi gagal bayar, perusahaan tinggal menyita dan menjual kembali
rumah yang dikreditkan.
Untuk membiayai kredit ini para perusahaan
ini umumnya juga meminjam dari pihak lain dengan jangka waktu kredit
yang pendek sekitar 1-2 tahun, padahal kredit yang dibiayai merupakan
kredit perumahan jangka panjang sampai 20 tahun. Sehingga terjadi
ketimpangan (mismatch) kredit.
Akibat gagal bayar terhadap kredit
perumahan tersebut, membuat banyak perusahaan kredit perumahan iini
tidak mampu membayar kembali utangnya yang berujung pada bangkrutnya
beberapa perusahaan tersebut. Saham perusahaan lain yang tidak mengalami
kebangkrutan juga turunt terimbas sentimen negatif dan membuat takut
investor.
Selain pinjaman dari pihak ketiga, para perusahaan
pembiayaan kredit rumah ini juga menerbitkan semacam efek beragun aset
(EBA) yang dijual ke perbankan dan investor baik institusi maupun
individu ke berbagai negara. EBA ini juga merupakan instrumen untuk
membagi risiko. Namun yang terjadi justru sebaliknya, kekhawatiran
terhadap kemungkinan gagal bayar para debitor yang tidak layak tersebut
justru berdampak pada investor secara global baik yang memiliki EBA
tersebut maupun investor yang hanya terimbas sentimen negatif.
2)Perusahaan Pemeringkat
Perusahaan
pemeringkat seperti Moody's dan Standard and Poor's diduga ikut ambil
bagian dalam krisis subprime mortgage ini. Perusahaan - perusahaan
pemeringkat ini dinilai terlalu lamban mengantisipasi bahaya gagal bayar
utang kredit perumahan itu. Padahal tugas lembaga pemeringkat adalah
mengevaluasi obligasi atau instrumen utang lainnya dan memberikan rating
yang mencerminkan risiko instrumen utang tersebut.
3)Investment Banks (Bank Investasi)
Investment
Banks seperti Goldmas Sachs, Bear Strearns dan Morgan Stanley juga ikut
terlibat dalam terjadi krisis subprime mortgage ini. Karena mereka
memiliki spesialisasi mengembangkan instrumen investasi seperti EBA yang
dijual ke perbankan dan institusi keuangan. Investment Banks ini juga
terkena imbas dan merugi dibeberapa dana investasinya yang terkait
dengan utang berisiko tinggi.
Sementara bank sentral dan private
equity fund dicatat sebagai pihak yang paling besar terimbas dampak
krisis ini. Private equity fund adalah manajer investasi yang merancang
pembelian dan penjualan perusahaan. Mereka umumnya meminjam uang dengan
bunga rendah yang digunakan untuk membeli saham di bursa. Saham yang
dibeli umumnya dijaga performanya agar menarik minat investor lain untuk
membeli. Saham tersebut akan dijual setelah harganya tingginya dalam
waktu yang tidak lama.
Sedangkan bank sentral dunia seperti Bank
of England (BoE), US Federal Reserve (The Fed) dan European Central
Bank (ECB) sebagai pihak yang merancang tingkat suku bunga demi
mengontrol inflasi dan menjaga pertumbuhan ekonomi. Kebijakan tingkat
bunga rendah itulah yang memicu pasar untuk melakukan investasi besar di
perumahan. Namun kini bank sentral harus menggelontorkan banyak dana ke
pasar untuk menyuplai kebutuhan dana kas yang besar.
B.Dampak Krisis Subprime Mortgage
Pemilik
surat utang Subprime Mortgage bukan hanya perbankan di Amerika Serikat,
tapi juga perbankan di Australia, Cina, India, Taiwan, dan
negara-negara lainnya. Dampaknya, harga saham perbankan di seluruh dunia
jatuh. Hal ini pun menyulut kekhawatiran para pelaku pasar, karena
bermasalahnya bank akan berdampak pada melemahnya kegiatan perekonomian.
Peraturan Bank Indonesia tidak memungkinkan perbankan membeli surat
utang berperingkat rendah sehingga perbankan Indonesia tidak memiliki
surat utang subprime mortgage. Akan tetapi, karena harga saham perbankan
di negara tetangga jatuh, investor asing juga menjual saham perbankan
dan nonperbankan di Indonesia. Investor lokal akhirnya juga ikut
melakukan aksi jual. Apalagi harga saham dan harga obligasi di Indonesia
sudah naik banyak, maka investor pun melakukan aksi ambil untung.
Inilah yang menyebabkan harga saham turun, imbal hasil obligasi naik
(harga turun) dan kurs rupiah melemah, bahkan minat terhadap penawaran
saham BNI juga sempat terganggu.
Sterilnya perbankan dan
korporasi Indonesia dari kepemilikan subprime mortgage menyebabkan
dampak krisis pada pasar keuangan domestik berupa pelepasan surat
berharga domestik terutama SUN dan SBI oleh investor asing. Pada bulan
Juli dan Agustus 2007 terjadi penurunan kepemilikan asing pada SUN dan
SBI yang cukup signifikan. Investor asing diperkirakan equity friendly
dan cenderung mengalihkan penanaman dari SUN pada equity atau risk free
treasury bill. Hal ini terkait dengan tingginya supply risk SUN atas
potensi penurunan SUN valas akibat kenaikan premi resiko dan peningkatan
SUN rupiah. (Neraca Pembayaran Indonesia 2007)
Pada bulan
Agustus 2007, harga-harga saham di BEJ (Bursa Efek Jakarta) mengalami
koreksi, akibat masih berlanjutnya tekanan di bursa Wall Street dan
regional, menyusul meluasnya dampak krisis subprime mortgage di dunia.
Banyaknya koreksi mengaibatkan IHSG turun 89,112 poin atau 4,11 % pada
satu jam pertama perdagangan tanggal 15 Agustus 2007. Turunnya IHSG
memicu melemahnya nilai tukar rupiah saat itu, dari Rp 9000 menjadi Rp
9400. Dow Jones Industrial Average juga kehilangan 207,61 poin atau
turun 1,57 %. Masih dalam periode waktu yang sama, indeks Nikkei
mengalami kemerosotan 267,22 poin. Penurunan drastis ini dapat dilihat
dalam grafik perkembangan pasar modal di Asia Pasifik dan pasar modal di
Barat dan Jepang.
Koreksi besar-besaran yang terjadi akibat
krisis subprime mortgage ini juga merambat ke sektor-sektor lainnya.
Kepanikan antara Februari – Maret 2007 menyebabkan saham-saham dari
sektor mortgage (hipotek) -19%, sektor finansial -10%, dan semua bidang
-6%. Kemudian pada Juni-Juli 2007 saham-saham mortgage turun lagi hingga
-41%, dan saham-saham keuangan -18%.
Dampak subprime mortgage
Amerika Serikat di Indonesia memang sebesar dampaknya pada negara-negara
lain, karena adanya peraturan BI yang tidak memungkinkan perbankan
membeli surat utang berperingkat rendah. Namun, sebenarnya dampak krisis
finansial ini masih tersisa di dunia. Pada 3 Maret 2008,
tempointeraktif.com menyebutkan bahwa pasar saham Asia jatuh setelah UBS
AG memprediksikan bahwa perusahaan keuangan global kemungkinan akan
kehilangan sekitar US$ 600 miliar karena kredit macet hipotek perumahan
subprime mortgage di Amerika Serikat. Westpac Banking Corp. merugi 3,3
persen sedangkan Macquarie Group Ltd. kembali tergelincir di hari
ketiga. Pemasukan uang dalam perdagangan Amerika menurun 4,7 persen dari
penutupan saham di Tokyo 29 Februari 2008, dimana Sony Corp. rugi 3,6
persen, setelah Yen menguat terhadap dolar, sehingga mengurangi
pendapatan di luar negeri. Index Australia anjlok S&P/ASX 200 hingga
2,9 persen menjadi 5,410.90 pada pukul 10.12 di Sydney. Index New
Zealand's NZX 50, yang menjadi patokan Asia untuk memulai perdagangan,
turun 1,1 persen menjadi 3,542.16 di Wellington.
C.Kebijakan Bank Sentral Untuk Mengatasi Krisis Subprime Mortgage
Krisis
Subprime Mortgage yang terjadi di Amerika Serikat menginfeksi bursa
saham di seluruh dunia dan mengancam stabilitas banyak mata uang di
dunia. Selain USD yang menjadi labil, sejumlah mata uang lain seperti
rupiah pun sempat jatuh. Diperlukan intervensi kebijakan dari bank
sentral Amerika (The Fed) untuk menstabilkan pasar. Karena The Fed
bertanggung jawab menjaga kinerja ekonomi AS jangka panjang dan
kestabilan harga-harga di AS.
Untuk mengatasi kekurangan
likuiditas di pasar modal, bank sentral negara-negara maju yang bursanya
terkait dengan industri subprime mortgage menggelontorkan dana ke pasar
uang (open market operations) dengan memasuki transaksi Repo
(Repurchase Agreement). Ini untuk menjaga stabilitas nilai tukar mereka
dan menumbuhkan sentimen positif akan bursanya. Diawali pada 9 Agustus
2007, The Fed mengeluarkan USD 30 miliar untuk menjaga likuiditas
investor subprime mortgage yang merugi. Pada 10 Agustus, The Fed
menambahnya USD 36 miliar. Penambahan ini terus berlangsung hingga 16
Agustus 2007, dan mencapai jumlah USD 29 miliar.
Untuk memulihkan
stabilitas, The Fed juga menyuntikkan dana ke sistem perbankan dan
keuangannya. Pada 9-10 Agustus, The Fed menyuntikkan USD 24 dan 68
miliar. Di Eropa, pada 10 Agustus 2007 The European Central Bank (ECB)
menyuntikkan dana USD 61 miliar. Pada 13 Agustus, ECB menambah lagi USD
47,67 miliar, dan di Jepang, The Bank of Japan (BoJ) menyuntikkan dana
600 miliar Yen.
Selain itu, mengingat pemicu utama kredit macet
subprime mortgage adalah bunga yang tinggi, maka pada 17 Agustus 2007
The Fed menurunkan suku bunga diskonto hingga 50 basis poin menjadi
5,75%. Langkah ini lalu diikuti penyesuaian praktek discount window
biasa untuk memfasilitasi persyaratan terkait periode pemberian pinjaman
selama 30 hari yang dapat diperbarui oleh nasabah peminjam. Dengan
diturunkannya suku bunga, maka akan ada kelonggaran bagi peminjam
subrime mortgage untuk melunasi utangnya kepada pemberi pinjaman. Itu
juga berarti, surat utang berbasis subprime mortgage yang kini banyak
dipegang investor seluruh dunia kembali memperoleh jaminannya dan
kembali bernilai.
Langkah ini mampu menahan kejatuhan banyak
bursa saham di Dunia. Bagi bursa saham Indonesia, kebijakan The Fed ini
juga bermanfaat untuk memulihkan sentimen positif. Karena, setelah
merebaknya krisis subprime mortgage, para pelaku pasar mulai
mengkhawatirkan risiko berinvestasi di negara berimbal hasil tinggi
khususnya di negara berkembang. Inilah yang dulu menyebabkan pelaku
pasar menarik investasinya, baik yang berupa saham maupun valas dari
negara-negara berkembang. Dengan diturunkannya suku bunga The Fed, maka
Indeks Dow Jones kembali stabil dan pasar mulai tenang. Selain itu,
langkah ini pun diikuti intervensi dari pemerintah-pemerintah negara
seluruh dunia.
Akan tetapi risiko masih ada. Para analis pasar
merasa tetap perlu melihat kinerja perusahaan-perusahaan sekuritas dan
bank investasi yang terkait dengan subprime mortgage. Itulah sebabnya,
pada Maret 2008, pasar saham kembali jatuh. Karena ternyata imbasnya
terhadap perusahaan-perusahaan keuangan sedemikian besar. Vice President
Head of Management Fund Trimegah Securities, Fajar Hidayat, menyebut
subprime mortgage ini sebagai kanker yang tidak diketahui kapan akan
berhenti dan sejauh mana reaksi yang ditimbulkannya.
BAB 3
Penutup
A.Kesimpulan
Krisis
Subprime Mortgage Amerika Serikat terutama disebabkan oleh investor
yang tidak memperhatikan faktor fundamental portofolio yang dibelinya,
dan penyaluran kredit yang menyimpang dari prinsip 5 C (Character,
Capacity, Collateral, Condition, Capital). Akibat adanya globalisasi,
dimana transaksi keuangan bisa terjadi lintas negara, bahkan lintas
dunia, maka dampak krisis subprime mortgage AS ini menginfeksi bursa
saham di seluruh dunia, mengakibatkan penurunan harga saham
besar-besaran, dan membangkitkan kepanikan para investor. Untuk
mengatasinya, diperlukan intervensi bank sentral, terutama The Fed,
melalui kebijakan open market operation dan penurunan tingkat suku bunga
diskonto.
B.Saran
1)Kepada investor, agar lebih memperhatikan faktor fundamental porotfolio yang dibelinya.
2)Kepada
masyarakat agar tidak mudah tergoda iming-iming kredit perumahan murah,
bila dirinya sendiri tidak memenuhi kualifikasi untuk mengembalikan
pinjamannya.
BAB 3
Daftar Pustaka
Aji, Ibrahim. 2007. Gelembung nan Rentan Itupun Pecah. dalam majalah Sharing edisi khusus tahun I/Oktober 2007 halaman 70-71.
__________, dan Yudi Suharso. KPR Amerika Sumber Bencana. dalam majalah Sharing edisi khusus tahun I/Oktober 2007 halaman 67-69.
Bank Indonesia. 2008. Neraca Pembayaran Indonesia 2007. www.bi.go.id [20/03/2008]
en.wikipedia.com/Subprime lending [08/05/2008/14:40]
en.wikipedia.com/Subprime mortgage crisis [08/05/2008/14:39]
ihedge.wordpress.com [08/05/2008/15:07]
Insukindro. 1995. Ekonomi Uang dan Bank, Teori dan Pengalaman di Indonesia. Yogyakarta: BPFE.
Kusuma, Sid H. Memahami Subprime Mortgage AS. www.detik.com/3 September 2007.
Wibisono, Andrian. 2007. Inilah Para Aktor Penyebab Krisis Subprime Mortgage. www.detik.com/ 17 Agustus 2007.
www.tempointeraktif.com [08/05/2008/15:43]
Selasa, 26 Juni 2012
Jumat, 08 Juni 2012
Penyebab Krisis Eropa
Krisis di Eropa itu ibarat kisah dongeng yang rumit antara politik dan ekonomi.Seperti yang telah kita ketahui bahwa kawasan Eropa secara global sedang mengalami krisis moneter yang disebabkan hutang negara Yunani kemudian merebak ke Irlandia dan Portugal serta akhirnya imbasnya menimbulkan efek domino. Istilah efek domino diambil dari analogi sebuah permainan domino itu sendiri, dimana ketika satu domino jatuh kearah barisan domino selanjutnya, semuanya akan jatuh terus-menerus sampai akhirnya tak satupun domino berdiri. Definisi dari analogi tesebut adalah penyebaran suatu perubahan yang dapat menjalar terus-menerus dalam reaksi berantai sampai masalah tersebut dapat dihentikan. Efek domino tersebut adalah keadaan yang terjadi pada krisis ekonomi Yunani masa kini. Keparahan efek domino tersebut dapat dilihat dari negara-negara maju yang telah dipengaruhi oleh krisis ekonomi Yunani dan potensi untuk krisis ekonomi menjalar ke hampir seluruh kawasan Uni Eropa. Pernahakah terpikir bagaimana kondisi perekonomian sebuah kawasan negara digdaya seperti Uni Eropa bisa begitu terpuruk dan terhantam krisis?
Uni Eropa selalu dinilai sebagai suatu kerja sama ekonomi berbasis kawasan yang paling ideal dan paling sukses di dunia.
Abstrak: Anggapan ini sekarang mulai tergoyahkan dan kehilangan pesonanya dengan kemunculan serangkaian krisis yang melanda negara-negara Uni Eropa. Beberapa negara di luar Eropa berusaha menguatkan fundamental ekonomi mereka masing-masing untuk mengantisipasi efek krisis tersebut. Meski dalam lima dekade terakhir dunia memberikan gambaran yang positif dan menjanjikan, tak bisa dipungkiri saat ini ekonomi global dihadapkan pada situasi ketidakpastian. Nasib jutaan tenaga kerja, tabungan, bahkan demokrasi beberapa negara Eropa tergantung pada apa yang akan terjadi beberapa bulan atau tahun mendatang selama krisis Eropa masih berlangsung.
Krisis Eropa yang diawali dengan kejatuhan perekonomian Negara anggota Uni Eropa yang dipicu oleh melonjaknya beban utang dan defisit fiskal negara anggota Uni Eropa, utamanya Yunani. Keserakahan pemerintah di beberapa negara Eropa, seperti Yunani,Portugal,Irlandia, dan Sepanyol. Manajemen budget pemerintah amat buruk. Pengeluaran pemerintah, yang dibiaya hutang, amat boros. Akibatnya, mereka kesulitan membayar hutang. Keserakahan pemerintah ini juga ditopang dengan keserakahan lembaga pemberi hutang, yang terus berani memberikan hutang pada pemerintah di negara negara tersebut. Sekarang negara negara ini mengalami kesulitan membayar hutang mereka. Kalau mereka gagal membayar hutang mereka, akan banyak pihak pemberi hutang, yang akan menderita rugi besar. Kerugian pemberi hutang, khususnya bank dan lembaga keuangan lain, akan menjalar ke pihak lain. Kesaling-terkaitan antara berbagai bank dan lembaga keuangan akan berdampak pada meluasnya dampak krisis keuangan ini ke banyak negara Eropa, termasuk Jerman dan Perancis. Di luar Eropa, negara yang keuangan pemerintahnya tidak baik akan mudah terkena dampak ini, termasuk Jepang. Negara yang amat menggantungkan pada ekspor akan sangat terkena dampak krisis keuangan/ ekonomi global ini.
Uni Eropa selalu dinilai sebagai suatu kerja sama ekonomi berbasis kawasan yang paling ideal dan paling sukses di dunia.
Abstrak: Anggapan ini sekarang mulai tergoyahkan dan kehilangan pesonanya dengan kemunculan serangkaian krisis yang melanda negara-negara Uni Eropa. Beberapa negara di luar Eropa berusaha menguatkan fundamental ekonomi mereka masing-masing untuk mengantisipasi efek krisis tersebut. Meski dalam lima dekade terakhir dunia memberikan gambaran yang positif dan menjanjikan, tak bisa dipungkiri saat ini ekonomi global dihadapkan pada situasi ketidakpastian. Nasib jutaan tenaga kerja, tabungan, bahkan demokrasi beberapa negara Eropa tergantung pada apa yang akan terjadi beberapa bulan atau tahun mendatang selama krisis Eropa masih berlangsung.
Krisis Eropa yang diawali dengan kejatuhan perekonomian Negara anggota Uni Eropa yang dipicu oleh melonjaknya beban utang dan defisit fiskal negara anggota Uni Eropa, utamanya Yunani. Keserakahan pemerintah di beberapa negara Eropa, seperti Yunani,Portugal,Irlandia, dan Sepanyol. Manajemen budget pemerintah amat buruk. Pengeluaran pemerintah, yang dibiaya hutang, amat boros. Akibatnya, mereka kesulitan membayar hutang. Keserakahan pemerintah ini juga ditopang dengan keserakahan lembaga pemberi hutang, yang terus berani memberikan hutang pada pemerintah di negara negara tersebut. Sekarang negara negara ini mengalami kesulitan membayar hutang mereka. Kalau mereka gagal membayar hutang mereka, akan banyak pihak pemberi hutang, yang akan menderita rugi besar. Kerugian pemberi hutang, khususnya bank dan lembaga keuangan lain, akan menjalar ke pihak lain. Kesaling-terkaitan antara berbagai bank dan lembaga keuangan akan berdampak pada meluasnya dampak krisis keuangan ini ke banyak negara Eropa, termasuk Jerman dan Perancis. Di luar Eropa, negara yang keuangan pemerintahnya tidak baik akan mudah terkena dampak ini, termasuk Jepang. Negara yang amat menggantungkan pada ekspor akan sangat terkena dampak krisis keuangan/ ekonomi global ini.
China dan India yang sering
diharapkan sebagai “negara penyelamat” krisis ekonomi
global, karena pertumbuhan ekonomi mereka yang amat
tinggi dalam sepuluh tahun terakhir,pun akan terkena dampak krisis keuangan
Eropa. Pertumbuhan ekonomi China telah menurun, walau relatif masih amat tinggi. Penurunan
pertumbuhan ekonomi China, dan juga impor mereka, akan berdampak pada banyak negara lain
di Asia, termasuk Asia Tenggara.
Kalau
krisis hutang pemerintah meluas ke berbagai negara lain di Eropa, dan juga
Jepang,
Amerika Serikat, dan Australia, dunia akan mengalami krisis ekonomi keuangan
global yang kedua, setelah
krisis keuangan/ ekonomi global tahun 2008-2009.
Kondisi perekonomian Yunani yang morat marit pada
akhirnya mendorong kekhawatiran pasar bahwa kondisi tersebut akan berimplikasi
ke Negara lainnya di Eropa, terutama ke Eropa Selatan karena
kelompok negara tersebut memiliki kondisi perekonomian yang mirip, dimana
rata-rata negara tersebut memiliki rasio hutang terhadap PDB yang besar, serta
terperangkap oleh defisit anggaran yang tinggi dalam membiayai sektor
publiknya. Krisis utang Eropa berasal dari Yunani, yang
kemudian merembet ke Irlandia dan Portugal. Ketiga negara tersebut memiliki
utang yang lebih besar dari GDP-nya, dan juga sempat mengalami defisit
(pengeluaran negara lebih besar dari GDP). Krisis mulai terasa pada akhir tahun
2009, dan semakin seru dibicarakan padapertengahan tahun 2010. Pada tanggal 2
Mei 2010, IMF akhirnya menyetujui paketbail out (pinjaman) sebesar €110 milyar
untuk Yunani, €85 milyar untuk Irlandia,dan €78 milyar untuk Portugal. Kemudian
kekhawatiran akan terjadinya krisispun berhenti sejenak. Efek dari krisis Eropa
ini cukup berdampak kepada IHSG, yang ketika itu anjlok besar-besaran dari posisi
2,971 ke posisi 2,514.
Yunani kemungkinan merupakan buah dari kesalahan
kebijakan pemerintahan di masa lalu. Pada tahun 1974, Yunani memasuki babak
baru pemerintahan, dari junta militer menjadi sosialis. Pemerintah baru ini
kemudian mengambil banyak utang untuk membiayai subsidi, dana pensiun, gaji
PNS, dll. Utang tersebut terus saja menumpuk hingga pada tahun 1993, posisi
utang Yunani sudah diatas GDP-nya, dan sampai sekarang pun masih demikian. Saat
ini utang Yunani diperkirakan telah mencapai 120% dari posisi GDP-nya, dimana
banyak analis yang memperkirakan bahwa data yang sesungguhnya kemungkinan lebih
besar dari itu. Hingga awal tahun 2000-an, tidak ada seorang pun yang
memperhatikan fakta bahwa utang Yunani sudah terlalu besar. Malah dari
tahun 2000 hingga 2007, Yunani mencatat pertumbuhan ekonomi hingga 4.2% per
tahun, yang merupakan angka tertinggi di zona Eropa, hasil dari membanjirnya
modal asing ke negara tersebut. Keadaan berbalik ketika pasca krisis global
2008 dimana negara-negara lain mulai bangkit dari resesi, dua dari sektor
ekonomi utama Yunani yaitu sektor pariwisata danperkapalan, justru mencatat
penurunan pendapatan hingga 15%. Orang-orang punmulai sadar bahwa mungkin ada
yang salah dengan perekonomian Yunani. Keadaan semakin memburuk ketika pada
awal tahun 2010, diketahui bahwa Pemerintah Yunani telah membayar Goldman Sachs
dan beberapa bank investasi lainnya, untuk mengatur transaksi yang dapat
menyembunyikan angka sesungguhnya dari jumlah utang pemerintah. Pemerintah
Yunani juga diketahui telah mengutak atik data-data statistik ekonomi makro,
sehingga kondisi perekonomian mereka tampak baik-baik saja, padahal tidak. Pada
Mei 2010, Yunani sekali lagi ketahuan telah mengalami defisit hingga 13.6%.
Salah satu penyebab utama dari defisit tersebut adalah banyaknya kasus
penggelapan pajak, yang diperkirakan telah merugikan negara hingga US$ 20
milyar per tahun.
Ketika IMF memberikan pinjaman, IMF
mengajukan beberapa syarat penghematan anggaran kepada Pemerintah Yunani.
Diantaranya pemotongan tunjangan bagi PNS dan pensiunan, peningkatan pajak
PPN hingga 23%, peningkatan cukai pada barang-barang mewah, bensin,
rokok, dan minuman beralkohol, hingga perusahaan BUMN harus dikurangi
dari 6,000 menjadi 2,000 perusahaan saja. Tentu saja kebijakan ini sangat
sulit untuk diterapkan. Pada bulan yang sama, ketika Pemerintah Yunani
mengumumkan kebijakan penghematan anggaran, rakyat Yunani langsung menggelar
unjuk rasa besar-besaran di Athena untuk menolak kebijakan tersebut. Hingga
kini, belum ada kepastian mengenai apakah Pemerintah Yunani berhasil dalam
menerapkan berbagai kebijakan diatas atau tidak. Salah satu lembaga pemeringkat
utang terkemuka, Moody’s Investors Service, masih menetapkan rating utang
Yunani pada salah satu level terendah, yaitu CCC. Tantangan yang begitu hebat
dihadapi para pemimpin Eropa, sejak bangkrutnya Yunani, disusul Irlandia,
Spanyol, merembet ke Itali, Inggris, dan terakhir melanda Perancis, yang
masuk ke jurang krisis akibar utang. Perancis nasibnya sama seperti Amerika
Serikat yang telah diturunkan peringkat rating kreditnya dari AAA menjadi
AA+. Perancis yang mempunyai utang yang setara dengan 95 % PDB nya, sudah
tidak lagi mampu mengatasinya. Tidak banyak pilihan yang bisa
dilakukannya, kecuali hanya dengan memotong defisit anggaran, dan itu
pasti akan membawa malapetaka kepada krisis politik dan sosial. Ujungnya
terjadinya pemberontakan rakyat. Presiden Perancis Nicolas Sarkozy dan Kanselir
Jerman Angela Merkel mengumumkan langkah-langkah kebijakan mengatasi krisis
utang, tetapi tidak mempunyai dampak positif di pasar. Bursa saham di Uni
Eropa terus berguguran sampai titik yang paling rendah.
Sumber masalah ekonomi dunia tahun ini belum juga
berpindah dari Eropa. Bahkan, Dana Moneter Internasional atau International
Monetary Fund (IMF) mengingatkan krisis Eropa dikhawatirkan makin parah
seiring rencana bank-bank Eropa menjual aset yang dimilikinya. IMF menaksir,
nilai penjualan aset perbankan di Eropa itu bisa mencapai US$3,8 triliun setara
Rp32.400 triliun (kurs Rp9.000 per dolar AS).
Langkah perbankan di Eropa ini bukannya tanpa alasan. Mereka berupaya menjual aset untuk meningkatkan cadangan modal di tengah ketidakpastian penanganan krisis Eropa.
Namun, IMF justru menilai langkah perbankan Eropa itu malah bisa memicu munculnya kisruh baru dalam industri kredit Benua Biru tersebut.
Langkah perbankan di Eropa ini bukannya tanpa alasan. Mereka berupaya menjual aset untuk meningkatkan cadangan modal di tengah ketidakpastian penanganan krisis Eropa.
Namun, IMF justru menilai langkah perbankan Eropa itu malah bisa memicu munculnya kisruh baru dalam industri kredit Benua Biru tersebut.
Deleveraging
adalah
upaya perusahaan untuk mengurangi rasio pasiva terhadap ekuitas. Biasanya
perusahaan berupaya untuk mengurangi utang-utang yang ada dalam neraca keuangan
mereka. Jika hal ini tak dilakukan, perusahaan bisa terancam mengalami default.
Upaya deleveraging sebesar ini akan berdampak pada seluruh kawasan
Eropa.
IMF memperkirakan aksi jual aset oleh perbankan tersebut muncul karena ketidakpercayaan pelaku pasar pada efektivitas kebijakan Eropa. Selain itu, faktor naiknya biaya dana serta makin tertekannya sistem perbankan juga memicu aksi bank tersebut. Sejumlah aksi yang telah dibuat memang telah menciptakan keuntungan namun upaya itu dianggap tak cukup untuk menciptakan stabilitas yang berkesimbangunan.
Dari skenario yang dibuat IMF, aksi jual aset bank di Eropa itu bisa membuat pasokan dana pinjaman untuk wilayah tersebut mengecil hingga 4,4 persen. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi Eropa dipastikan melemah 1,4 persen.
IMF memperkirakan aksi jual aset oleh perbankan tersebut muncul karena ketidakpercayaan pelaku pasar pada efektivitas kebijakan Eropa. Selain itu, faktor naiknya biaya dana serta makin tertekannya sistem perbankan juga memicu aksi bank tersebut. Sejumlah aksi yang telah dibuat memang telah menciptakan keuntungan namun upaya itu dianggap tak cukup untuk menciptakan stabilitas yang berkesimbangunan.
Dari skenario yang dibuat IMF, aksi jual aset bank di Eropa itu bisa membuat pasokan dana pinjaman untuk wilayah tersebut mengecil hingga 4,4 persen. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi Eropa dipastikan melemah 1,4 persen.
Krisis yang mulai melanda Eropa pada tahun lalu tentunya berdampak pada perekonomian
Indonesia, dampak krisis global mulai menghantui kinerja ekspor Indonesia. Ekspor
Indonesia ke Uni Eropa terus meningkat dan selalu mendatangkan surplus bagi
Indonesia sebesar rata-rata USD5,16 miliar per tahunnya. Namun terjadi
penurunan di beberapa sektor karena pengaruh krisis ekonomi yang melanda Uni
Eropa.
Pertumbuhan ekspor Indonesia pada bulan Januari dan
Februari 2012 turun ketimbang waktu yang sama pada tahun 2011. pertumbuhan
eskpor Januari-Februari 2012 hanya tumbuh 7,6% lebih rendah dari pertumbuhan
ekspor Januari-Februari 2011 sebesar 29,1%.
Ini mengindikasikan, krisis global mulai berpengaruh
terhadap kinerja ekspor Indonesia. Krisis tersebut menandakan adanya
perlambatan ekonomi masyarakat Eropa yang berimbas pada penurunan permintaan
sehingga dampak yang paling dirasakan oleh Indonesia adalah menurunnya ekspor. Krisis
ekonomi yang melanda Eropa merupakan faktor yang tidak dapat dinafikan pengaruhnya
terhadap perekonomian Indonesia. Ada dampak krisis itu pun mulai terasa pada
sektor perdagangan. Perkembangan ekspor ke Eropa pada tahun 2011 sudah
menampakan gejala-gejala kecendrungan menurun. Dampak yang ditimbulkan krisis
Uni Eropa terhadap ekspor Indonesia ke kawasan itu, meskipun kecil. Karena
Indonesia hanya memiliki ketergantungan terhadap pasar Eropa sebesar 11,4 %.
Meskipun dikhawatirkan jika ini menyebar ke negara-negara yang menjadi tujuan
ekspor utama seperti Jerman dan perancis maka itu akan menimbulkan dampak buruk
terhadap ekspor Indonesia. tidak hanya kinerja ekspor Indonesia yang terganggu,
tetapi juga negara lainnya seperti China, Korea Selatan, Jepang dan Brasil.
Pertumbuhan ekspor di China turun dari 21,3% di
Januari-Februari 2011 menjadi 6,9% di Januari-Februari 2012. Dalam kurun waktu
yang sama, pertumbuhan ekspor Korea Selatan turun dari 30,5% menjadi 5,6%. Begitu
juga dengan Jepang yang mengalami penurunan pertumbuhan ekspor dari 15,5% di
Januarui Februari 2011 menjadi 0,03% realisasi pertumbuhan ekspor pada
Januari-Februari 2012. Hal serupa juga terjadi pada Brasil yang mengalami
penurunan pertumbuhan ekspor dari 35,9% di Januari-Februari 2011 menjadi 7,0%
di Januari Februari 2012. Pertumbuhan ekonomi Indonesia Januari-Februari masih
tinggi ketimbang negara-negara lainnya.
Walaupun banyak negara Asia yang tergantung pada
Eropa sebagai pasar ekspornya, sebagian besar perusahaan di Asia yang diberi
peringkat oleh Moody's tidak terlalu terpengaruh kondisi di zona euro karena
mereka memfokuskan bisnisnya pada pasar domestik atau regional. Eksposur
terhadap perekonomian Eropa yang sedang menurun tidak akan memengaruhi
peringkat dan prospek dari sebagian besar perusahaan di Asia. Perhitungan ini
berdasarkan pada pendapatan mereka dari Eropa serta asetnya, juga jumlah
pinjaman dari perbankan Eropa. Dari 217 perusahaan yang diperingkat di Asia, di
luar Jepang, hanya 13 persen atau 6 persen saja yang melaporkan bahwa 15 persen
atau lebih pendapatan mereka didulang dari pasar Eropa. Sebanyak 8 perusahaan di
antaranya melaporkan, lebih dari 25 persen pendapatan mereka berasal dari
Eropa. Dalam laporan tersebut, Moody's menjelaskan, pelaporan pendapatan
mungkin lebih kecil dari pada keadaan sebenarnya. Laporan penjualan, misalnya,
tidak termasuk penjualan bahan mentah serta bahan penghubung untuk perusahaan
non-Eropa karena telah menjadi komponen barang jadi yang dijual ke Eropa.Krisis
Eropa juga tidak akan berpengaruh besar terhadap perekonomian Indonesia secara
menyeluruh. Sebab, ketergantungan Indonesia terhadap pasar Eropa sangat kecil.
Hal ini terlihat dari prosentasi ekspor Indonesia ke berbagai negara di wilayah
Eropa seperti Yunani, negara di Eropa yang mengalami krisis terparah saat ini
masih sangat kecil. Ekspor ke Eropa yang relatif besar adalah ke negara Jerman
dan Perancis yang kondisinya masih sangat kuat. Meskipun begitu krisis utang
yang dialami oleh Yunani dan negara Eropa Selatan lainnya dikhawatirkan akan
menyebabkan Jerman dan Prancis sebagai motor penggerak perekonomian Eropa
melepas euro. Jika ini terjadi maka bursa saham global akan anjlok. Investor
global akan menarik dananya di bursa-bursa Asia, khususnya dari pasar
negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), surplus perdagangan Indonesia sampai
pada kuartal III tahun 2011 memang meningkat sebesar 37,5 % dari tahun 2010
pada periode yang sama. Namun, kinerja ekspor Indonesia mulai melemah pada
bulan September 2011, dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Pada bulan
September, ekspor Indonesia mengalami penurunan dibanding bulan Agustus. Hal
itu ditunjukkan oleh nilai ekspor bulan September yang hanya mencapai USD 17,54
miliar dibanding bulan Agustus yang mencapai USD 18,64 miliar. Penurunan terus
terjadi pada bulan Oktober di mana ekspor hanya mencapai USD 16,95 miliar. Dari
data tersebut, menurunnya jumlah ekspor ke Eropa dan AS lah yang berkontribusi
besar pada penurunan kinerja ekspor Indonesia secara keseluruhan. BPS melansir,
ekspor Indonesia ke Uni Eropa menurun USD543 juta dan ekspor ke AS menurun
USD200 juta pada bulan September 2011. Dan penurunan ini akan terus terjadi
apabila Indonesia belum mendapatkan pasar baru sebagai alternatif tujuan
ekspor, mengingat kondisi perekonomian Eropa dan AS yang masih labil. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2011
tercatat sebesar 3,5 persen dibandingkan kuartal II-2011 atau mencapai 6,5
persen dibandingkan tahun sebelumnya. Namun perlambatan ini dinilai tidak
terlampau mengkhawatirkan. Pasalnya, perekonomian Indonesia cenderung disokong
oleh sektor domestik. Maka pertumbuhan ekonomi diprediksi masih akan berlanjut.
Krisis ekonomi
global yang terjadi di Eropa juga memberi dampak pada pariwisata
Indonesia, walaupun tidak terlalu besar. Daya
saing pariwisata, Indonesia adalah ranking 74 di antara 139 negara. Krisis kali
ini telah memukul negara-negara Eropa membuat jumlah pengangguran di
negara-negara tersebut meningkat. Padahal kontribusi turis Eropa dalam sektor
Pariwisata sangat tinggi pada tahun 2009 terjadi penurunan jumlah kunjungan
wisatawan mancanegara (wisman) yang datang di Indonesia. Untuk itu diperlukan
diversifikasi pasar untuk mengantisipasi dampak krisis Eropa terhadap
perkembangan sektor pariwisata. Perekonomian Asia yang terus tumbuh dan
pasar-pasar yang kini tengah berkembang dapat menjadi salah satu tumpuan untuk
mengganti pasar dari Eropa yang kemungkinan akan tergerus akibat krisis. 43
persen turis di Kawasan ASEAN merupakan dari dalam ASEAN sendiri. Dan dua
pertiganya berasal dari kawasan ASEAN plus China, Korea, Jepang, India,
Australia dan Selandia Baru. Dengan pertumbuhan ekonomi masih cukup kuat, yang
mendorong pertumbuhan kelas menengah membuat pasar di Asia menjadi salah satu
tumpuan baru industri pariwisata. Selain itu, diperlukan peningkatan kerja sama
yang selaras antar negara ASEAN dalam mengembangkan sektor pariwisata.
Diantaranya dengan mengimplementasikan rencana strategi pariwisata ASEAN.
Adanya dampak dari krisis Eropa terhadap
pariwisata kemungkinan akan dirasakan. Namun pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia
dan semakin tingginya minat untuk berpergian akan menjadi harapan dalam
industri ini. Meski Eropa dilanda krisis
dan pertumbuhan dunia terus melambat, pariwisata mampu tumbuh empat persen.
Sedangkan di ASEAN pariwisata tumbuh lebih cepat sebesar sembilan persen.
Pariwisata merupakan salah satu sektor yang masih tahan terhadap krisis,
sehingga pariwisata ASEAN akan tetap tumbuh.
Namun krisis Krisis finansial
yang terjadi di Eropa tidak selalu menyebabkan dampak yang buruk, karena krisis
finansial yang terjadi di Eropa justru menyebabkan perlambatan pertumbuhan di
sektor industri. Isu beban utang yang dialami oleh Yunani dan negara-negara
Eropa selatan sepanjang paruh kedua 2011, perlambatan pertumbuhan di kawasan
Zona Eropa serta munculnya kekhawatiran akan datangnya resesi baru membuat
level produksi di sektor industri utama menurun. Ini terlihat dari turunnya
angka emisi gas rumah kaca yang dihasilkan Akibatnya, produksi emisi gas rumah
kaca negara-negara Uni Eropa juga menurun. Sehingga hal ini berdampak positif
bagi lingkungan.Kesimpulan dan Saran
Tentunya jika isu global ini ingin dihentikan secara keseluruhan, solusi-solusi tertentu akan dibutuhkan. Banyak solusi yang ditawarkan untuk mengatasi utang dan dampak krisis kredit pemerintah di Eropa. Krisis ekonomi yang melanda negara-negara kawasan Eropa sudah memasuki tahun ketiga dan belum terlihat kapan akan berakhir, serta bagaimana nanti akhirnya. Sebaiknya, jangan meremehkan krisis yang terjadi di Eropa. Sebab yang mengalami guncangan keuangan adalah negara, bukan perusahaan yang bisa recovery satu sampai dua tahun. Pelemahan ekonomi di Eropa perlu mendapatkan perhatian bagi pengambil kebijakan di Indonesia. Indonesia harus bersiap-siap mengantisipasi efek dari krisis tersebut, meski dampak langsung Eropa ke ekonomi Indonesia akan sangat minim. Memasuki 2012 Indonesia sebaiknya sudah menyiapkan langkah antisipatif untuk menangkal imbas krisis utang zona euro karena Bank Indonesia (BI) memperkirakan krisis itu masih akan berlanjut hingga tahun depan.
Krisis Yunani yang berimbas ke negara-negara lainnya di Uni Eropa harus segera ditangani oleh Uni Eropa sebagai organisasi regional di kawasan itu. Dengan adanya krisis di Uni Eropa yang menjadi tujuan ekspor Indonesia dengan ketergantungan ekspor 11, 4 % maka Indonesia harus secepatnya mencari pasar alternatif untuk memasarkan produknya, misalnya ke Negara di Asia Tenggara, India dan Asia Timur yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Krisis ekonomi yang melanda negara-negara di kawasan Uni Eropa membuat Indonesia terkena imbasnya, entah sampai kapan. Indonesia sudah merasakan dampak negatif dari krisis Eropa. Misalnya ekspor cokelat ke Eropa dari Sulawesi menurun drastis. Perlambatan ekspor ke luar negeri disebabkan oleh perlambatan ekonomi negara maju seperti Uni Eropa serta berlarutnya penyelesaian krisis utang Eropa. Ini tidak bisa dibiarkan karena bisa membuat pengusaha semakin terpuruk saat ini sudah tidak bisa lagi mengandalkan ekspor ke negara-negara tradisional seperti negara di kawasan Eropa Barat. Para pengusaha sudah harus melirik pangsa pasar lain yang tidak terkena krisis. Diversifikasi pasar tujuan ekspor menjadi strategi yang perlu diintensifkan. Dalam mengatasi masalah ini, salah satu langkah yang bisa diambil oleh pemerintah adalah dengan reorientasi pasar ekspor ke Asia (terutama China), Timur Tengah, Amerika Latin, dan Afrika. Dalam jangka menengah, reorientasi ekspor akan mampu mendongkrak ekspor yang sempat menurun akibat krisis. Dalam jangka panjang, reorientasi ekspor akan bisa memperluas pasar ekspor Indonesia dengan menciptakan target-target pasar yang baru. Selain membuka akses baru tujuan ekspor, peningkatan kemampuan produksi dan teknologi produsen Indonesia perlu ditingkatkan. Terjadinya krisis ini menuntut Indonesia untuk mampu memanfaatkan semua peluang yang ada, misalnya ACFTA, untuk dapat meningkatkan nilai ekspor. Memang, semenjak diberlakukannya ACFTA, terjadi defisit pada neraca perdagangan Indonesia dengan China. Namun secara keseluruhan, neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus. Oleh karena itu, peluang ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan cara menjadikan China sebagai sasaran utama ekspor Indonesia, mengingat tidak lagi ada hambatan tarif dan kuota. Selain itu, reorientasi pasar perlu juga ditujukan ke dalam negeri, dalam artian memanfaatkan pasar domestik untuk menampung produk yang mengalami penurunan ekspor. Hal ini tentunya perlu diimbangi dengan kualitas produk yang tinggi agar mampu bersaing dengan produk-produk impor, agar masyarakat Indonesia juga turut menikmati produk dalam negeri yang memiliki kualitas lebih baik. Ekonomi Indonesia masih cukup kuat dan tangguh, asalkan antara dunia usaha, pemerintah dan pekerja dapat saling mendukung untuk menopang pertumbuhan yang berkelanjutan. Diperlukan peningkatan kerja sama yang selaras antar negara ASEAN dalam mengembangkan sektor pariwisata. Diantaranya dengan memperhatikan dan pembenahan dengan serius sektor pariwisata Indonesia, sehingga bukan hanya masuknya turis tapi juga diharapkan kualitas dan keberlanjutan turisme.
Dan juga pentingnya pembangunan sarana infrastruktur di Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta antisipasi pelemahan perekonomian global akibat krisis di Eropa. Karenanya, peningkatan proyek infrastruktur bisa dilakukan dengan menyederhanakan prosedur pelaksanaan proyek dan meningkatkan kapasitas dari lembaga-lembaga pelaksana proyek. Peningkatan belanja modal dalam APBN Perubahan 2012 sebesar Rp168,87 triliun merupakan hal yang positif untuk mendorong pembangunan infrastruktur.
Namun langkah-langkah antisipasi yang diambil Eropa akan mampu meredam gejolak krisis. Penanganan krisis Eropa dalam beberapa bulan terakhir sudah cukup baik. Namun untuk benar-benar bisa mengatasi krisis keuangan Eropa, harus dilakukan tindakan lebih jauh sekarang juga. Pembuat kebijakan tidak bisa ongkang-ongkang kaki saja. Eropa harus mengatasi berbagai masalah dalam kesepakatan sektor perbankan lintas batas. Pengawasan Eropa, jaminan sistem deposit Eropa dan sebuah sistem dimana risiko dibagi antara negara, misalnya melalui Eurobonds, bisa digunakan untuk menghindari masalah di masa depan. Bank-bank lemah harus ditangani oleh Dana Eropa yang berkepentingan terhadap bank.
Terakhir, Eropa harus memperkuat cadangan dana
krisis yang mereka miliki untuk menahan gempuran krisis keuangan. The European
Financial Stability Facility and European Stability Mechanism saat ini tercatat
memiliki dana cadangan hingga 740 miliar euro.
Kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah, krisis ekonomi apapun harus ditanggulangi dari pengaturan sistem ekonomi maupun politik sehingga ekonomi sebuah negara atau seluruh dunia dapat bertahan dan berjalan secara stabil.
Kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah, krisis ekonomi apapun harus ditanggulangi dari pengaturan sistem ekonomi maupun politik sehingga ekonomi sebuah negara atau seluruh dunia dapat bertahan dan berjalan secara stabil.
Langganan:
Postingan (Atom)