Selasa, 26 Juni 2012

Analisa Krisis Subprime Mortgage

BAB 1
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Dalam ekonomi yang modern, uang tidak hanya terdiri atas uang primer, tapi juga “uang” yang diciptakan oleh sistem perbankan atau sering dikenal sebagai “uang bank”. Pada umumnya, untuk suatu laju pertumbuhan uang primer tertentu, pertumbuhan uang bank dan juga kredit perbankan ditentukan secara simultan oleh perilaku sistem perbankan dan masyarakat diluar perbankan. Secara teoritis dianggap bahwa pemberian kredit perbankan kepada sektor swasta akan berinteraksi dengan komponen-komponen pasar uang. (Insukindro,1995:111)

Ada ketergantungan antara kredit perbankan dan pasar uang, yang mana hal ini kadang sulit dipahami. Namun dalam globalisasi, semua komponen ekonomi dalam perekonomian suatu negara akan menentukan arah kemajuan perekonomian negara tersebut dan bahkan dapat berimbas pada perekonomian negara lain. Agar dapat memahami masalah tersebut, maka makalah ini akan membahas mengenai asal mula dan dampak krisis subprime mortgage (KPR murah) yang telah terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2007 lalu, namun dampaknya masih terasa hingga kini. Selain itu, makalah ini juga akan membahas mengenai kebijakan-kebijakan yang diambil bank sentral untuk mengatasi krisis ini.

B.Rumusan Masalah
Dari uraian yang dikemukakan diatas, permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1)Bagaimana asal mula terjadinya krisis subprime mortgage ?
2)Bagaimana dampak krisis subprime mortgage ?
3)Bagaimana tindakan bank sentral untuk mengatasi krisis subprime mortgage ?

C.Tujuan
Dari rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1)Mengetahui asal mula terjadinya krisis subprime mortgage.
2)Mengetahui dampak krisis subprime mortgage.
3)Mengetahui tindakan bank sentral untuk mengatasi krisis subprime mortgage.

D.Manfaat
Penulisan makalah ini diharapkan mampu memberikan manfaat antara lain :
1.Manfaat Praktis
Hasil dari makalah ini diharapkan dapat menguak dan menambah pengetahuan serta informasi mengenai asal mula dan dampak krisis subprime mortgage serta kebijakan bank sentral untuk mengatasinya.
2.Manfaat Teoritis
Bagi mahasiswa, makalah ini diharapkan dapat memperkaya dan memberikan sumbangan konseptual bagi pengembangan kajian hubungan antara kredit perbankan dengan pasar uang, khususnya yang berhubungan dengan krisis subprime mortgage.


BAB 2
Pembahasan


A.Asal Mula Krisis Subprime Mortgage

Pada 2001-2005, pertumbuhan perumahan di Amerika Serikat menggelembung seiring rendahnya suku bunga perbankan akibat kolapsnya indutri dotcom. Sejak 1995, industri dotcom (saham-saham teknologi) di AS lebih dulu booming, namun kolaps dan menyebabkan banyak perusahaan jenis ini tak mampu membayar pinjaman ke bank. Untuk menyelamatkan mereka, The Fed menurunkan suku bunga, sehingga suku bunga menjadi rendah. Suku bunga yang rendah dimanfaatkan pengembang dan perusahaan pembiayaan perumahan untuk membangun perumahan murah dan menjualnya melalui skema subprime mortgage. Gelembung perumahan ini terjadi di banyak negara bagian, seperti California, Florida, New York, dan banyak negara bagian di barat daya.

Saat bisnis perumahan mulai booming pada tahun 2001 ini, banyak warga AS berkantong tipis yang membeli rumah murah melalui skema subprime mortgage (KPR murah). Pada tahun 2006, ketika koreksi pasar mulai menyentuh gelembung bisnis perumahan di AS, ekonom Universitas Yale, Robert Shiller memperingatkan bahwa harga rumah akan naik melebihi aslinya. Koreksi pasar ini, menurutnya, bisa berlangsung tahunan dan menyebabkan penurunan nilai rumah-rumah tersebut hingga muliaran dolar AS. Peringatan itu mulai terbukti ketika pada akhir 2006, sebanyak 2,5 juta warga AS yang membeli rumah melalui skema tadi tak mampu membayar cicilan. Harga rumah yang mereka kredit melambung tinggi, bahkan ada yang sampai 100% dari nilai awalnya. Akibatnya, menurut laporan perusahaan penyedia data penyitaan rumah di AS, RealtyTrac, sebanyak itu pula, rumah yang akan disita dari penduduk AS.

RealtyTrac mencatat pengumuman lelang sebanyak 179.599 yang mencakup 2,5 juta rumah yang dinyatakan disita karena gagal bayar. Ini adalah jumlah penyitaan terbanyak selama 37 tahun. Penyitaan besar-besaran ini jelas dapat menimbulkan banyak warga AS menjadi tuna wisma mendadak, dan bisa menjadi masalah sosial baru.

Tidak semua warga negara AS memiliki uang yang cukup untuk membeli rumah atau memiliki sejarah kredit yang baik. Kebanyakan dari mereka adalah pengangguran, pekerja-pekerja seperti office boy, pedagang kecil, dan pembersih rumah atau kantor. Sebenarnya, mereka dianggap tidak layak mendapatkan pinjaman untuk memiliki rumah murah, karena sejarah kreditnya kurang baik dan tidak memiliki pendapatan yang cukup untuk mencicil. Untuk itulah diadakan subprime mortgage.

Pembiayaan jenis ini sebenarnya berisiko, baik bagi kreditor maupun debitor, karena bunganya yang tinggi, sejarah kredit peminjam yang buruk, dan kemampuan keuangan peminjam yang rendah. Kamus online Wikipedia menjelaskan, Subprime Lenders (Pemberi pinjaman), biasanya adalah lembaga pembiayaan perumahan, mengumpulkan berbagai utang itu (pool) dan menjualnya kepada bank komersial. Oleh bank komersial, sebagian portofolio tersebut dijual lagi kepada bank investasi. Oleh bank investasi, kumpulan utang tersebut dijual kepada investor di seluruh dunia seperti bank komersial, perusahaan asuransi, maupun investor perorangan.

Kumpulan utang tersebut dinamakan Mortgage-Backed Securities (MBS) yang merupakan bentuk utang yang dijamin. MBS ini termasuk salah satu bentuk transaksi derivatif yang penuh risiko. Ketika pembeli rumah membayar bunga, baik pada cicilan bulanan atau pada saat pelunasan, pembeli MBS mendapat pendapatan. Layaknya transaksi derivatif lain, MBS bisa dibeli dari tangan pertama atau berikutnya. Artinya, investor yang sudah membeli MBS bisa menjualnya lagi ke investor lain. Perolehan pendapatan dibagi menurut jenjang atau senioritas pembeli MBS ini. Dan ini menjadi beban seluruhnya bagi pembeli rumah. Ini membuat nilai yang harus dibayar pembeli rumah melambung tinggi hingga 100% dari nilai aslinya.

Meskipun tergolong kredit berisiko tinggi, bank investasi dan hedge fund (HF) tetap memainkan instrumen ini, karena para investor dari golongan pemain baru banyak yang tertarik membeli MBS. Ditambah lagi ada dukungan pemeringkatan yang dibuat lembaga seperti Standard & Poor’s (S&P).

Akibatnya, menjelang 2007, pembeli rumah dengan skema ini tak sanggup mencicil kredit rumah murah tersebut lantaran semakin sulitnya perekonomian AS. Ketika ini terjadi, satu-satunya jaminan bagi MBS adalah rumah-rumah itu sendiri. Namun, karena penawaran perumahan ternyata melebihi permintaan seiring gelembung industri perumahan dalam 2001-2005, nilai rumah-rumah itupun turun, tidak sesuai lagi dengan nilai yang dijaminkan dalam MBS. Sementara bank investasi dan HF harus tetap memberi pendapatan berupa bunga kepada para investornya. Inilah asal mula terjadinya krisis subprime mortgage yang berimbas ke seluruh dunia.

BBC menyebutkan aktor-aktor yang berperan dalam krisis ini antara lain adalah :
1)Kreditor Perumahan Murah
Banyak perusahaan di AS yang memiliki spesialisasi memberikan kredit perumahan bagi orang-orang yang sebenarnya tidak layak di beri kredit subprime lenders. Para perusahaan tersebut berani memberikan kredit karena kalau terjadi gagal bayar, perusahaan tinggal menyita dan menjual kembali rumah yang dikreditkan.
Untuk membiayai kredit ini para perusahaan ini umumnya juga meminjam dari pihak lain dengan jangka waktu kredit yang pendek sekitar 1-2 tahun, padahal kredit yang dibiayai merupakan kredit perumahan jangka panjang sampai 20 tahun. Sehingga terjadi ketimpangan (mismatch) kredit.
Akibat gagal bayar terhadap kredit perumahan tersebut, membuat banyak perusahaan kredit perumahan iini tidak mampu membayar kembali utangnya yang berujung pada bangkrutnya beberapa perusahaan tersebut. Saham perusahaan lain yang tidak mengalami kebangkrutan juga turunt terimbas sentimen negatif dan membuat takut investor.
Selain pinjaman dari pihak ketiga, para perusahaan pembiayaan kredit rumah ini juga menerbitkan semacam efek beragun aset (EBA) yang dijual ke perbankan dan investor baik institusi maupun individu ke berbagai negara. EBA ini juga merupakan instrumen untuk membagi risiko. Namun yang terjadi justru sebaliknya, kekhawatiran terhadap kemungkinan gagal bayar para debitor yang tidak layak tersebut justru berdampak pada investor secara global baik yang memiliki EBA tersebut maupun investor yang hanya terimbas sentimen negatif.
2)Perusahaan Pemeringkat
Perusahaan pemeringkat seperti Moody's dan Standard and Poor's diduga ikut ambil bagian dalam krisis subprime mortgage ini. Perusahaan - perusahaan pemeringkat ini dinilai terlalu lamban mengantisipasi bahaya gagal bayar utang kredit perumahan itu. Padahal tugas lembaga pemeringkat adalah mengevaluasi obligasi atau instrumen utang lainnya dan memberikan rating yang mencerminkan risiko instrumen utang tersebut.
3)Investment Banks (Bank Investasi)
Investment Banks seperti Goldmas Sachs, Bear Strearns dan Morgan Stanley juga ikut terlibat dalam terjadi krisis subprime mortgage ini. Karena mereka memiliki spesialisasi mengembangkan instrumen investasi seperti EBA yang dijual ke perbankan dan institusi keuangan. Investment Banks ini juga terkena imbas dan merugi dibeberapa dana investasinya yang terkait dengan utang berisiko tinggi.

Sementara bank sentral dan private equity fund dicatat sebagai pihak yang paling besar terimbas dampak krisis ini. Private equity fund adalah manajer investasi yang merancang pembelian dan penjualan perusahaan. Mereka umumnya meminjam uang dengan bunga rendah yang digunakan untuk membeli saham di bursa. Saham yang dibeli umumnya dijaga performanya agar menarik minat investor lain untuk membeli. Saham tersebut akan dijual setelah harganya tingginya dalam waktu yang tidak lama.

Sedangkan bank sentral dunia seperti Bank of England (BoE), US Federal Reserve (The Fed) dan European Central Bank (ECB) sebagai pihak yang merancang tingkat suku bunga demi mengontrol inflasi dan menjaga pertumbuhan ekonomi. Kebijakan tingkat bunga rendah itulah yang memicu pasar untuk melakukan investasi besar di perumahan. Namun kini bank sentral harus menggelontorkan banyak dana ke pasar untuk menyuplai kebutuhan dana kas yang besar.

B.Dampak Krisis Subprime Mortgage

Pemilik surat utang Subprime Mortgage bukan hanya perbankan di Amerika Serikat, tapi juga perbankan di Australia, Cina, India, Taiwan, dan negara-negara lainnya. Dampaknya, harga saham perbankan di seluruh dunia jatuh. Hal ini pun menyulut kekhawatiran para pelaku pasar, karena bermasalahnya bank akan berdampak pada melemahnya kegiatan perekonomian. Peraturan Bank Indonesia tidak memungkinkan perbankan membeli surat utang berperingkat rendah sehingga perbankan Indonesia tidak memiliki surat utang subprime mortgage. Akan tetapi, karena harga saham perbankan di negara tetangga jatuh, investor asing juga menjual saham perbankan dan nonperbankan di Indonesia. Investor lokal akhirnya juga ikut melakukan aksi jual. Apalagi harga saham dan harga obligasi di Indonesia sudah naik banyak, maka investor pun melakukan aksi ambil untung. Inilah yang menyebabkan harga saham turun, imbal hasil obligasi naik (harga turun) dan kurs rupiah melemah, bahkan minat terhadap penawaran saham BNI juga sempat terganggu.

Sterilnya perbankan dan korporasi Indonesia dari kepemilikan subprime mortgage menyebabkan dampak krisis pada pasar keuangan domestik berupa pelepasan surat berharga domestik terutama SUN dan SBI oleh investor asing. Pada bulan Juli dan Agustus 2007 terjadi penurunan kepemilikan asing pada SUN dan SBI yang cukup signifikan. Investor asing diperkirakan equity friendly dan cenderung mengalihkan penanaman dari SUN pada equity atau risk free treasury bill. Hal ini terkait dengan tingginya supply risk SUN atas potensi penurunan SUN valas akibat kenaikan premi resiko dan peningkatan SUN rupiah. (Neraca Pembayaran Indonesia 2007)

Pada bulan Agustus 2007, harga-harga saham di BEJ (Bursa Efek Jakarta) mengalami koreksi, akibat masih berlanjutnya tekanan di bursa Wall Street dan regional, menyusul meluasnya dampak krisis subprime mortgage di dunia. Banyaknya koreksi mengaibatkan IHSG turun 89,112 poin atau 4,11 % pada satu jam pertama perdagangan tanggal 15 Agustus 2007. Turunnya IHSG memicu melemahnya nilai tukar rupiah saat itu, dari Rp 9000 menjadi Rp 9400. Dow Jones Industrial Average juga kehilangan 207,61 poin atau turun 1,57 %. Masih dalam periode waktu yang sama, indeks Nikkei mengalami kemerosotan 267,22 poin. Penurunan drastis ini dapat dilihat dalam grafik perkembangan pasar modal di Asia Pasifik dan pasar modal di Barat dan Jepang.

Koreksi besar-besaran yang terjadi akibat krisis subprime mortgage ini juga merambat ke sektor-sektor lainnya. Kepanikan antara Februari – Maret 2007 menyebabkan saham-saham dari sektor mortgage (hipotek) -19%, sektor finansial -10%, dan semua bidang -6%. Kemudian pada Juni-Juli 2007 saham-saham mortgage turun lagi hingga -41%, dan saham-saham keuangan -18%.

Dampak subprime mortgage Amerika Serikat di Indonesia memang sebesar dampaknya pada negara-negara lain, karena adanya peraturan BI yang tidak memungkinkan perbankan membeli surat utang berperingkat rendah. Namun, sebenarnya dampak krisis finansial ini masih tersisa di dunia. Pada 3 Maret 2008, tempointeraktif.com menyebutkan bahwa pasar saham Asia jatuh setelah UBS AG memprediksikan bahwa perusahaan keuangan global kemungkinan akan kehilangan sekitar US$ 600 miliar karena kredit macet hipotek perumahan subprime mortgage di Amerika Serikat. Westpac Banking Corp. merugi 3,3 persen sedangkan Macquarie Group Ltd. kembali tergelincir di hari ketiga. Pemasukan uang dalam perdagangan Amerika menurun 4,7 persen dari penutupan saham di Tokyo 29 Februari 2008, dimana Sony Corp. rugi 3,6 persen, setelah Yen menguat terhadap dolar, sehingga mengurangi pendapatan di luar negeri. Index Australia anjlok S&P/ASX 200 hingga 2,9 persen menjadi 5,410.90 pada pukul 10.12 di Sydney. Index New Zealand's NZX 50, yang menjadi patokan Asia untuk memulai perdagangan, turun 1,1 persen menjadi 3,542.16 di Wellington.

C.Kebijakan Bank Sentral Untuk Mengatasi Krisis Subprime Mortgage
Krisis Subprime Mortgage yang terjadi di Amerika Serikat menginfeksi bursa saham di seluruh dunia dan mengancam stabilitas banyak mata uang di dunia. Selain USD yang menjadi labil, sejumlah mata uang lain seperti rupiah pun sempat jatuh. Diperlukan intervensi kebijakan dari bank sentral Amerika (The Fed) untuk menstabilkan pasar. Karena The Fed bertanggung jawab menjaga kinerja ekonomi AS jangka panjang dan kestabilan harga-harga di AS.

Untuk mengatasi kekurangan likuiditas di pasar modal, bank sentral negara-negara maju yang bursanya terkait dengan industri subprime mortgage menggelontorkan dana ke pasar uang (open market operations) dengan memasuki transaksi Repo (Repurchase Agreement). Ini untuk menjaga stabilitas nilai tukar mereka dan menumbuhkan sentimen positif akan bursanya. Diawali pada 9 Agustus 2007, The Fed mengeluarkan USD 30 miliar untuk menjaga likuiditas investor subprime mortgage yang merugi. Pada 10 Agustus, The Fed menambahnya USD 36 miliar. Penambahan ini terus berlangsung hingga 16 Agustus 2007, dan mencapai jumlah USD 29 miliar.

Untuk memulihkan stabilitas, The Fed juga menyuntikkan dana ke sistem perbankan dan keuangannya. Pada 9-10 Agustus, The Fed menyuntikkan USD 24 dan 68 miliar. Di Eropa, pada 10 Agustus 2007 The European Central Bank (ECB) menyuntikkan dana USD 61 miliar. Pada 13 Agustus, ECB menambah lagi USD 47,67 miliar, dan di Jepang, The Bank of Japan (BoJ) menyuntikkan dana 600 miliar Yen.

Selain itu, mengingat pemicu utama kredit macet subprime mortgage adalah bunga yang tinggi, maka pada 17 Agustus 2007 The Fed menurunkan suku bunga diskonto hingga 50 basis poin menjadi 5,75%. Langkah ini lalu diikuti penyesuaian praktek discount window biasa untuk memfasilitasi persyaratan terkait periode pemberian pinjaman selama 30 hari yang dapat diperbarui oleh nasabah peminjam. Dengan diturunkannya suku bunga, maka akan ada kelonggaran bagi peminjam subrime mortgage untuk melunasi utangnya kepada pemberi pinjaman. Itu juga berarti, surat utang berbasis subprime mortgage yang kini banyak dipegang investor seluruh dunia kembali memperoleh jaminannya dan kembali bernilai.

Langkah ini mampu menahan kejatuhan banyak bursa saham di Dunia. Bagi bursa saham Indonesia, kebijakan The Fed ini juga bermanfaat untuk memulihkan sentimen positif. Karena, setelah merebaknya krisis subprime mortgage, para pelaku pasar mulai mengkhawatirkan risiko berinvestasi di negara berimbal hasil tinggi khususnya di negara berkembang. Inilah yang dulu menyebabkan pelaku pasar menarik investasinya, baik yang berupa saham maupun valas dari negara-negara berkembang. Dengan diturunkannya suku bunga The Fed, maka Indeks Dow Jones kembali stabil dan pasar mulai tenang. Selain itu, langkah ini pun diikuti intervensi dari pemerintah-pemerintah negara seluruh dunia.

Akan tetapi risiko masih ada. Para analis pasar merasa tetap perlu melihat kinerja perusahaan-perusahaan sekuritas dan bank investasi yang terkait dengan subprime mortgage. Itulah sebabnya, pada Maret 2008, pasar saham kembali jatuh. Karena ternyata imbasnya terhadap perusahaan-perusahaan keuangan sedemikian besar. Vice President Head of Management Fund Trimegah Securities, Fajar Hidayat, menyebut subprime mortgage ini sebagai kanker yang tidak diketahui kapan akan berhenti dan sejauh mana reaksi yang ditimbulkannya.


BAB 3
Penutup

A.Kesimpulan

Krisis Subprime Mortgage Amerika Serikat terutama disebabkan oleh investor yang tidak memperhatikan faktor fundamental portofolio yang dibelinya, dan penyaluran kredit yang menyimpang dari prinsip 5 C (Character, Capacity, Collateral, Condition, Capital). Akibat adanya globalisasi, dimana transaksi keuangan bisa terjadi lintas negara, bahkan lintas dunia, maka dampak krisis subprime mortgage AS ini menginfeksi bursa saham di seluruh dunia, mengakibatkan penurunan harga saham besar-besaran, dan membangkitkan kepanikan para investor. Untuk mengatasinya, diperlukan intervensi bank sentral, terutama The Fed, melalui kebijakan open market operation dan penurunan tingkat suku bunga diskonto.

B.Saran

1)Kepada investor, agar lebih memperhatikan faktor fundamental porotfolio yang dibelinya.
2)Kepada masyarakat agar tidak mudah tergoda iming-iming kredit perumahan murah, bila dirinya sendiri tidak memenuhi kualifikasi untuk mengembalikan pinjamannya.


BAB 3
Daftar Pustaka


Aji, Ibrahim. 2007. Gelembung nan Rentan Itupun Pecah. dalam majalah Sharing edisi khusus tahun I/Oktober 2007 halaman 70-71.
__________, dan Yudi Suharso. KPR Amerika Sumber Bencana. dalam majalah Sharing edisi khusus tahun I/Oktober 2007 halaman 67-69.
Bank Indonesia. 2008. Neraca Pembayaran Indonesia 2007. www.bi.go.id [20/03/2008]
en.wikipedia.com/Subprime lending [08/05/2008/14:40]
en.wikipedia.com/Subprime mortgage crisis [08/05/2008/14:39]
ihedge.wordpress.com [08/05/2008/15:07]
Insukindro. 1995. Ekonomi Uang dan Bank, Teori dan Pengalaman di Indonesia. Yogyakarta: BPFE.
Kusuma, Sid H. Memahami Subprime Mortgage AS. www.detik.com/3 September 2007.
Wibisono, Andrian. 2007. Inilah Para Aktor Penyebab Krisis Subprime Mortgage. www.detik.com/ 17 Agustus 2007.
www.tempointeraktif.com [08/05/2008/15:43]

Jumat, 08 Juni 2012

Penyebab Krisis Eropa


   Krisis di Eropa itu ibarat kisah dongeng yang rumit antara politik dan ekonomi.Seperti yang telah kita ketahui bahwa kawasan Eropa secara global sedang mengalami krisis moneter yang disebabkan hutang negara Yunani kemudian merebak ke Irlandia dan Portugal serta akhirnya imbasnya menimbulkan efek domino. Istilah efek domino diambil dari analogi sebuah permainan domino itu sendiri, dimana ketika satu domino jatuh kearah barisan domino selanjutnya, semuanya akan jatuh terus-menerus sampai akhirnya tak satupun domino berdiri. Definisi dari analogi tesebut adalah penyebaran suatu perubahan yang dapat menjalar terus-menerus dalam reaksi berantai sampai masalah tersebut dapat dihentikan. Efek domino tersebut adalah keadaan yang terjadi pada krisis ekonomi Yunani masa kini. Keparahan efek domino tersebut dapat dilihat dari negara-negara maju yang telah dipengaruhi oleh krisis ekonomi Yunani dan potensi untuk krisis ekonomi menjalar ke hampir seluruh kawasan Uni Eropa. Pernahakah terpikir bagaimana kondisi perekonomian sebuah kawasan negara digdaya seperti Uni Eropa bisa begitu terpuruk dan terhantam krisis?

 Uni Eropa selalu dinilai sebagai suatu kerja sama ekonomi berbasis kawasan yang paling ideal dan paling sukses di dunia.

Abstrak: Anggapan ini sekarang mulai tergoyahkan dan kehilangan pesonanya dengan kemunculan serangkaian krisis yang melanda negara-negara Uni Eropa. Beberapa negara di luar Eropa berusaha menguatkan fundamental ekonomi mereka masing-masing untuk mengantisipasi efek krisis tersebut. Meski dalam lima dekade terakhir dunia memberikan gambaran yang positif dan menjanjikan, tak bisa dipungkiri saat ini ekonomi global dihadapkan pada situasi ketidakpastian. Nasib jutaan tenaga kerja, tabungan, bahkan demokrasi beberapa negara Eropa tergantung pada apa yang akan terjadi beberapa bulan atau tahun mendatang selama krisis Eropa masih berlangsung.

   Krisis Eropa yang diawali dengan kejatuhan perekonomian Negara anggota Uni Eropa yang dipicu oleh melonjaknya beban utang dan defisit fiskal negara anggota Uni Eropa, utamanya Yunani. Keserakahan pemerintah di beberapa negara Eropa, seperti Yunani,Portugal,Irlandia, dan Sepanyol. Manajemen budget pemerintah amat buruk. Pengeluaran pemerintah, yang dibiaya hutang, amat boros. Akibatnya, mereka kesulitan membayar hutang. Keserakahan pemerintah ini juga ditopang dengan keserakahan lembaga pemberi hutang, yang terus berani memberikan hutang pada pemerintah di negara negara tersebut. Sekarang negara negara ini mengalami kesulitan membayar hutang mereka. Kalau mereka gagal membayar hutang mereka, akan banyak pihak pemberi hutang, yang akan menderita rugi besar. Kerugian pemberi hutang, khususnya bank dan lembaga keuangan lain, akan menjalar ke pihak lain. Kesaling-terkaitan antara berbagai bank dan lembaga keuangan akan berdampak pada meluasnya dampak krisis keuangan ini ke banyak negara Eropa, termasuk Jerman dan Perancis. Di luar Eropa, negara yang keuangan pemerintahnya tidak baik akan mudah terkena dampak ini, termasuk Jepang. Negara yang amat menggantungkan pada ekspor akan sangat terkena dampak krisis keuangan/ ekonomi global ini.
China dan India yang sering diharapkan sebagai “negara penyelamat” krisis ekonomi global, karena pertumbuhan ekonomi mereka yang amat tinggi dalam sepuluh tahun terakhir,pun akan terkena dampak krisis keuangan Eropa. Pertumbuhan ekonomi China telah menurun, walau relatif masih amat tinggi. Penurunan pertumbuhan ekonomi China, dan juga impor mereka, akan berdampak pada banyak negara lain di Asia, termasuk Asia Tenggara.
Kalau krisis hutang pemerintah meluas ke berbagai negara lain di Eropa, dan juga
Jepang, Amerika Serikat, dan Australia, dunia akan mengalami krisis ekonomi keuangan
global yang kedua, setelah krisis keuangan/ ekonomi global tahun 2008-2009.
Kondisi perekonomian Yunani yang morat marit pada akhirnya mendorong kekhawatiran pasar bahwa kondisi tersebut akan berimplikasi ke Negara lainnya di Eropa, terutama ke Eropa Selatan karena kelompok negara tersebut memiliki kondisi perekonomian yang mirip, dimana rata-rata negara tersebut memiliki rasio hutang terhadap PDB yang besar, serta terperangkap oleh defisit anggaran yang tinggi dalam membiayai sektor publiknya. Krisis utang Eropa berasal dari Yunani, yang kemudian merembet ke Irlandia dan Portugal. Ketiga negara tersebut memiliki utang yang lebih besar dari GDP-nya, dan juga sempat mengalami defisit (pengeluaran negara lebih besar dari GDP). Krisis mulai terasa pada akhir tahun 2009, dan semakin seru dibicarakan padapertengahan tahun 2010. Pada tanggal 2 Mei 2010, IMF akhirnya menyetujui paketbail out (pinjaman) sebesar €110 milyar untuk Yunani, €85 milyar untuk Irlandia,dan €78 milyar untuk Portugal. Kemudian kekhawatiran akan terjadinya krisispun berhenti sejenak. Efek dari krisis Eropa ini cukup berdampak kepada IHSG, yang ketika itu anjlok besar-besaran dari posisi 2,971 ke posisi 2,514.
Yunani kemungkinan merupakan buah dari kesalahan kebijakan pemerintahan di masa lalu. Pada tahun 1974, Yunani memasuki babak baru pemerintahan, dari junta militer menjadi sosialis. Pemerintah baru ini kemudian mengambil banyak utang untuk membiayai subsidi, dana pensiun, gaji PNS, dll. Utang tersebut terus saja menumpuk hingga pada tahun 1993, posisi utang Yunani sudah diatas GDP-nya, dan sampai sekarang pun masih demikian. Saat ini utang Yunani diperkirakan telah mencapai 120% dari posisi GDP-nya, dimana banyak analis yang memperkirakan bahwa data yang sesungguhnya kemungkinan lebih besar dari itu. Hingga awal  tahun 2000-an, tidak ada seorang pun yang memperhatikan fakta bahwa utang Yunani  sudah terlalu besar. Malah dari tahun 2000 hingga 2007, Yunani mencatat pertumbuhan ekonomi hingga 4.2% per tahun, yang merupakan angka tertinggi di zona Eropa, hasil dari membanjirnya modal asing ke negara tersebut. Keadaan berbalik ketika pasca krisis global 2008 dimana negara-negara lain mulai bangkit dari resesi, dua dari sektor ekonomi utama Yunani yaitu sektor pariwisata danperkapalan, justru mencatat penurunan pendapatan hingga 15%. Orang-orang punmulai sadar bahwa mungkin ada yang salah dengan perekonomian Yunani. Keadaan semakin memburuk ketika pada awal tahun 2010, diketahui bahwa Pemerintah Yunani telah membayar Goldman Sachs dan beberapa bank investasi lainnya, untuk mengatur transaksi yang dapat menyembunyikan angka sesungguhnya dari jumlah utang pemerintah. Pemerintah Yunani juga diketahui telah mengutak atik data-data statistik ekonomi makro, sehingga kondisi perekonomian mereka tampak baik-baik saja, padahal tidak. Pada Mei 2010, Yunani sekali lagi ketahuan telah mengalami defisit hingga 13.6%. Salah satu penyebab utama dari defisit tersebut adalah banyaknya kasus penggelapan pajak, yang diperkirakan telah merugikan negara hingga US$ 20 milyar per tahun.
Ketika IMF memberikan pinjaman, IMF mengajukan beberapa syarat penghematan anggaran kepada Pemerintah Yunani.  Diantaranya pemotongan tunjangan bagi PNS dan pensiunan, peningkatan pajak PPN  hingga 23%, peningkatan cukai pada barang-barang mewah, bensin, rokok, dan  minuman beralkohol, hingga perusahaan BUMN harus dikurangi dari 6,000 menjadi  2,000 perusahaan saja. Tentu saja kebijakan ini sangat sulit untuk diterapkan. Pada bulan yang sama, ketika Pemerintah Yunani mengumumkan kebijakan penghematan anggaran, rakyat Yunani langsung menggelar unjuk rasa besar-besaran di Athena untuk menolak kebijakan tersebut. Hingga kini, belum ada kepastian mengenai apakah Pemerintah Yunani berhasil dalam menerapkan berbagai kebijakan diatas atau tidak. Salah satu lembaga pemeringkat utang terkemuka, Moody’s Investors Service, masih menetapkan rating utang Yunani pada salah satu level terendah, yaitu CCC. Tantangan yang begitu hebat dihadapi para pemimpin Eropa, sejak  bangkrutnya Yunani, disusul Irlandia, Spanyol, merembet ke Itali,  Inggris, dan terakhir melanda Perancis, yang masuk ke jurang krisis akibar utang. Perancis nasibnya sama seperti Amerika Serikat yang telah  diturunkan peringkat rating kreditnya dari AAA menjadi AA+. Perancis  yang mempunyai utang yang setara dengan 95 % PDB nya, sudah tidak lagi mampu mengatasinya. Tidak banyak pilihan  yang bisa dilakukannya, kecuali hanya dengan memotong defisit anggaran,  dan itu pasti akan membawa malapetaka kepada krisis politik dan sosial.  Ujungnya terjadinya pemberontakan rakyat. Presiden Perancis Nicolas Sarkozy dan Kanselir Jerman Angela Merkel  mengumumkan langkah-langkah kebijakan mengatasi krisis utang, tetapi  tidak mempunyai dampak positif di pasar. Bursa saham di Uni Eropa terus berguguran sampai titik yang paling rendah.
Sumber masalah ekonomi dunia tahun ini belum juga berpindah dari Eropa. Bahkan, Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) mengingatkan krisis Eropa dikhawatirkan makin parah seiring rencana bank-bank Eropa menjual aset yang dimilikinya. IMF menaksir, nilai penjualan aset perbankan di Eropa itu bisa mencapai US$3,8 triliun setara Rp32.400 triliun (kurs Rp9.000 per dolar AS).
Langkah perbankan di Eropa ini bukannya tanpa alasan. Mereka berupaya menjual aset untuk meningkatkan cadangan modal di tengah ketidakpastian penanganan krisis Eropa.
Namun, IMF justru menilai langkah perbankan Eropa itu malah bisa memicu munculnya kisruh baru dalam industri kredit Benua Biru tersebut.
Deleveraging adalah upaya perusahaan untuk mengurangi rasio pasiva terhadap ekuitas. Biasanya perusahaan berupaya untuk mengurangi utang-utang yang ada dalam neraca keuangan mereka. Jika hal ini tak dilakukan, perusahaan bisa terancam mengalami default. Upaya deleveraging sebesar ini akan berdampak pada seluruh kawasan Eropa.
IMF memperkirakan aksi jual aset oleh perbankan tersebut muncul karena ketidakpercayaan pelaku pasar pada efektivitas kebijakan Eropa. Selain itu, faktor naiknya biaya dana serta makin tertekannya sistem perbankan juga memicu aksi bank tersebut. Sejumlah aksi yang telah dibuat memang telah menciptakan keuntungan namun upaya itu dianggap tak cukup untuk menciptakan stabilitas yang berkesimbangunan.
Dari skenario yang dibuat IMF, aksi jual aset bank di Eropa itu bisa membuat pasokan dana pinjaman untuk wilayah tersebut mengecil hingga 4,4 persen. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi Eropa dipastikan melemah 1,4 persen.
Krisis yang mulai melanda Eropa pada tahun  lalu tentunya berdampak pada perekonomian Indonesia, dampak krisis global mulai menghantui kinerja ekspor Indonesia. Ekspor Indonesia ke Uni Eropa terus meningkat dan selalu mendatangkan surplus bagi Indonesia sebesar rata-rata USD5,16 miliar per tahunnya. Namun terjadi penurunan di beberapa sektor karena pengaruh krisis ekonomi yang melanda Uni Eropa.
Pertumbuhan ekspor Indonesia pada bulan Januari dan Februari 2012 turun ketimbang waktu yang sama pada tahun 2011. pertumbuhan eskpor Januari-Februari 2012 hanya tumbuh 7,6% lebih rendah dari pertumbuhan ekspor Januari-Februari 2011 sebesar 29,1%.
Ini mengindikasikan, krisis global mulai berpengaruh terhadap kinerja ekspor Indonesia. Krisis tersebut menandakan adanya perlambatan ekonomi masyarakat Eropa yang berimbas pada penurunan permintaan sehingga dampak yang paling dirasakan oleh Indonesia adalah menurunnya ekspor. Krisis ekonomi yang melanda Eropa merupakan faktor yang tidak dapat dinafikan pengaruhnya terhadap perekonomian Indonesia. Ada dampak krisis itu pun mulai terasa pada sektor perdagangan. Perkembangan ekspor ke Eropa pada tahun 2011 sudah menampakan gejala-gejala kecendrungan menurun. Dampak yang ditimbulkan krisis Uni Eropa terhadap ekspor Indonesia ke kawasan itu, meskipun kecil. Karena Indonesia hanya memiliki ketergantungan terhadap pasar Eropa sebesar 11,4 %. Meskipun dikhawatirkan jika ini menyebar ke negara-negara yang menjadi tujuan ekspor utama seperti Jerman dan perancis maka itu akan menimbulkan dampak buruk terhadap ekspor Indonesia. tidak hanya kinerja ekspor Indonesia yang terganggu, tetapi juga negara lainnya seperti China, Korea Selatan, Jepang dan Brasil.
Pertumbuhan ekspor di China turun dari 21,3% di Januari-Februari 2011 menjadi 6,9% di Januari-Februari 2012. Dalam kurun waktu yang sama, pertumbuhan ekspor Korea Selatan turun dari 30,5% menjadi 5,6%. Begitu juga dengan Jepang yang mengalami penurunan pertumbuhan ekspor dari 15,5% di Januarui Februari 2011 menjadi 0,03% realisasi pertumbuhan ekspor pada Januari-Februari 2012. Hal serupa juga terjadi pada Brasil yang mengalami penurunan pertumbuhan ekspor dari 35,9% di Januari-Februari 2011 menjadi 7,0% di Januari Februari 2012. Pertumbuhan ekonomi Indonesia Januari-Februari masih tinggi ketimbang negara-negara lainnya.
Walaupun banyak negara Asia yang tergantung pada Eropa sebagai pasar ekspornya, sebagian besar perusahaan di Asia yang diberi peringkat oleh Moody's tidak terlalu terpengaruh kondisi di zona euro karena mereka memfokuskan bisnisnya pada pasar domestik atau regional. Eksposur terhadap perekonomian Eropa yang sedang menurun tidak akan memengaruhi peringkat dan prospek dari sebagian besar perusahaan di Asia. Perhitungan ini berdasarkan pada pendapatan mereka dari Eropa serta asetnya, juga jumlah pinjaman dari perbankan Eropa. Dari 217 perusahaan yang diperingkat di Asia, di luar Jepang, hanya 13 persen atau 6 persen saja yang melaporkan bahwa 15 persen atau lebih pendapatan mereka didulang dari pasar Eropa. Sebanyak 8 perusahaan di antaranya melaporkan, lebih dari 25 persen pendapatan mereka berasal dari Eropa. Dalam laporan tersebut, Moody's menjelaskan, pelaporan pendapatan mungkin lebih kecil dari pada keadaan sebenarnya. Laporan penjualan, misalnya, tidak termasuk penjualan bahan mentah serta bahan penghubung untuk perusahaan non-Eropa karena telah menjadi komponen barang jadi yang dijual ke Eropa.Krisis Eropa juga tidak akan berpengaruh besar terhadap perekonomian Indonesia secara menyeluruh. Sebab, ketergantungan Indonesia terhadap pasar Eropa sangat kecil. Hal ini terlihat dari prosentasi ekspor Indonesia ke berbagai negara di wilayah Eropa seperti Yunani, negara di Eropa yang mengalami krisis terparah saat ini masih sangat kecil. Ekspor ke Eropa yang relatif besar adalah ke negara Jerman dan Perancis yang kondisinya masih sangat kuat. Meskipun begitu krisis utang yang dialami oleh Yunani dan negara Eropa Selatan lainnya dikhawatirkan akan menyebabkan Jerman dan Prancis sebagai motor penggerak perekonomian Eropa melepas euro. Jika ini terjadi maka bursa saham global akan anjlok. Investor global akan menarik dananya di bursa-bursa Asia, khususnya dari pasar negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), surplus perdagangan Indonesia sampai pada kuartal III tahun 2011 memang meningkat sebesar 37,5 % dari tahun 2010 pada periode yang sama. Namun, kinerja ekspor Indonesia mulai melemah pada bulan September 2011, dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Pada bulan September, ekspor Indonesia mengalami penurunan dibanding bulan Agustus. Hal itu ditunjukkan oleh nilai ekspor bulan September yang hanya mencapai USD 17,54 miliar dibanding bulan Agustus yang mencapai USD 18,64 miliar. Penurunan terus terjadi pada bulan Oktober di mana ekspor hanya mencapai USD 16,95 miliar. Dari data tersebut, menurunnya jumlah ekspor ke Eropa dan AS lah yang berkontribusi besar pada penurunan kinerja ekspor Indonesia secara keseluruhan. BPS melansir, ekspor Indonesia ke Uni Eropa menurun USD543 juta dan ekspor ke AS menurun USD200 juta pada bulan September 2011. Dan penurunan ini akan terus terjadi apabila Indonesia belum mendapatkan pasar baru sebagai alternatif tujuan ekspor, mengingat kondisi perekonomian Eropa dan AS yang masih labil. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2011 tercatat sebesar 3,5 persen dibandingkan kuartal II-2011 atau mencapai 6,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Namun perlambatan ini dinilai tidak terlampau mengkhawatirkan. Pasalnya, perekonomian Indonesia cenderung disokong oleh sektor domestik. Maka pertumbuhan ekonomi diprediksi masih akan berlanjut.
Krisis ekonomi  global yang terjadi di Eropa juga memberi dampak pada pariwisata Indonesia, walaupun tidak terlalu besar. Daya saing pariwisata, Indonesia adalah ranking 74 di antara 139 negara. Krisis kali ini telah memukul negara-negara Eropa membuat jumlah pengangguran di negara-negara tersebut meningkat. Padahal kontribusi turis Eropa dalam sektor Pariwisata sangat tinggi pada tahun 2009 terjadi penurunan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) yang datang di Indonesia. Untuk itu diperlukan diversifikasi pasar untuk mengantisipasi dampak krisis Eropa terhadap perkembangan sektor pariwisata. Perekonomian Asia yang terus tumbuh dan pasar-pasar yang kini tengah berkembang dapat menjadi salah satu tumpuan untuk mengganti pasar dari Eropa yang kemungkinan akan tergerus akibat krisis. 43 persen turis di Kawasan ASEAN merupakan dari dalam ASEAN sendiri. Dan dua pertiganya berasal dari kawasan ASEAN plus China, Korea, Jepang, India, Australia dan Selandia Baru. Dengan pertumbuhan ekonomi masih cukup kuat, yang mendorong pertumbuhan kelas menengah membuat pasar di Asia menjadi salah satu tumpuan baru industri pariwisata. Selain itu, diperlukan peningkatan kerja sama yang selaras antar negara ASEAN dalam mengembangkan sektor pariwisata. Diantaranya dengan mengimplementasikan rencana strategi pariwisata ASEAN.  Adanya dampak dari krisis Eropa terhadap pariwisata kemungkinan akan dirasakan. Namun pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia dan semakin tingginya minat untuk berpergian akan menjadi harapan dalam industri ini.  Meski Eropa dilanda krisis dan pertumbuhan dunia terus melambat, pariwisata mampu tumbuh empat persen. Sedangkan di ASEAN  pariwisata tumbuh lebih cepat sebesar sembilan persen. Pariwisata merupakan salah satu sektor yang masih tahan terhadap krisis, sehingga pariwisata ASEAN akan tetap tumbuh.
Namun krisis Krisis finansial yang terjadi di Eropa tidak selalu menyebabkan dampak yang buruk, karena krisis finansial yang terjadi di Eropa justru menyebabkan perlambatan pertumbuhan di sektor industri. Isu beban utang yang dialami oleh Yunani dan negara-negara Eropa selatan sepanjang paruh kedua 2011, perlambatan pertumbuhan di kawasan Zona Eropa serta munculnya kekhawatiran akan datangnya resesi baru membuat level produksi di sektor industri utama menurun. Ini terlihat dari turunnya angka emisi gas rumah kaca yang dihasilkan Akibatnya, produksi emisi gas rumah kaca negara-negara Uni Eropa juga menurun. Sehingga hal ini berdampak positif bagi lingkungan.




Kesimpulan dan Saran
    Tentunya jika isu global ini ingin dihentikan secara keseluruhan, solusi-solusi tertentu akan dibutuhkan. Banyak solusi yang ditawarkan untuk mengatasi utang dan dampak krisis kredit pemerintah di Eropa. Krisis ekonomi yang melanda negara-negara kawasan Eropa sudah memasuki tahun ketiga dan belum terlihat kapan akan berakhir, serta bagaimana nanti akhirnya. Sebaiknya, jangan meremehkan krisis yang terjadi di Eropa. Sebab yang mengalami guncangan keuangan adalah negara, bukan perusahaan yang bisa recovery satu sampai dua tahun. Pelemahan ekonomi di Eropa perlu mendapatkan perhatian bagi pengambil kebijakan di Indonesia. Indonesia harus bersiap-siap mengantisipasi efek dari krisis tersebut, meski dampak langsung Eropa ke ekonomi Indonesia akan sangat minim. Memasuki 2012 Indonesia sebaiknya sudah menyiapkan langkah antisipatif untuk menangkal imbas krisis utang zona euro karena Bank Indonesia (BI) memperkirakan krisis itu masih akan berlanjut hingga tahun depan.
Krisis Yunani yang berimbas ke negara-negara lainnya di Uni Eropa harus segera ditangani oleh Uni Eropa sebagai organisasi regional di kawasan itu. Dengan adanya krisis di Uni Eropa yang menjadi tujuan ekspor Indonesia dengan ketergantungan ekspor 11, 4 % maka Indonesia harus secepatnya mencari pasar alternatif untuk memasarkan produknya, misalnya ke Negara di Asia Tenggara, India dan Asia Timur yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Krisis ekonomi yang melanda negara-negara di kawasan Uni Eropa membuat Indonesia terkena imbasnya, entah sampai kapan. Indonesia sudah merasakan dampak negatif dari krisis Eropa. Misalnya ekspor cokelat ke Eropa dari Sulawesi menurun drastis. Perlambatan ekspor ke luar negeri disebabkan oleh perlambatan ekonomi negara maju seperti Uni Eropa serta berlarutnya penyelesaian krisis utang Eropa. Ini tidak bisa dibiarkan karena bisa membuat pengusaha semakin terpuruk saat ini sudah tidak bisa lagi mengandalkan ekspor ke negara-negara tradisional seperti negara di kawasan Eropa Barat. Para pengusaha sudah harus melirik pangsa pasar lain yang tidak terkena krisis. Diversifikasi pasar tujuan ekspor menjadi strategi yang perlu diintensifkan. Dalam mengatasi masalah ini, salah satu langkah yang bisa diambil oleh pemerintah adalah dengan reorientasi pasar ekspor ke Asia (terutama China), Timur Tengah, Amerika Latin, dan Afrika. Dalam jangka menengah, reorientasi ekspor akan mampu mendongkrak ekspor yang sempat menurun akibat krisis. Dalam jangka panjang, reorientasi ekspor akan bisa memperluas pasar ekspor Indonesia dengan menciptakan target-target pasar yang baru. Selain membuka akses baru tujuan ekspor, peningkatan kemampuan produksi dan teknologi produsen Indonesia perlu ditingkatkan. Terjadinya krisis ini menuntut Indonesia untuk mampu memanfaatkan semua peluang yang ada, misalnya ACFTA, untuk dapat meningkatkan nilai ekspor. Memang, semenjak diberlakukannya ACFTA, terjadi defisit pada neraca perdagangan Indonesia dengan China. Namun secara keseluruhan, neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus. Oleh karena itu, peluang ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan cara menjadikan China sebagai sasaran utama ekspor Indonesia, mengingat tidak lagi ada hambatan tarif dan kuota. Selain itu, reorientasi pasar perlu juga ditujukan ke dalam negeri, dalam artian memanfaatkan pasar domestik untuk menampung produk yang mengalami penurunan ekspor. Hal ini tentunya perlu diimbangi dengan kualitas produk yang tinggi agar mampu bersaing dengan produk-produk impor, agar masyarakat Indonesia juga turut menikmati produk dalam negeri yang memiliki kualitas lebih baik. Ekonomi Indonesia masih cukup kuat dan tangguh, asalkan antara dunia usaha, pemerintah dan pekerja dapat saling mendukung untuk menopang pertumbuhan yang berkelanjutan. Diperlukan peningkatan kerja sama yang selaras antar negara ASEAN dalam mengembangkan sektor pariwisata. Diantaranya dengan memperhatikan dan pembenahan dengan serius sektor pariwisata Indonesia, sehingga bukan hanya masuknya turis tapi juga diharapkan kualitas dan keberlanjutan turisme.
Dan juga pentingnya pembangunan sarana infrastruktur di Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta antisipasi pelemahan perekonomian global akibat krisis di Eropa. Karenanya, peningkatan proyek infrastruktur bisa dilakukan dengan menyederhanakan prosedur pelaksanaan proyek dan meningkatkan kapasitas dari lembaga-lembaga pelaksana proyek. Peningkatan belanja modal dalam APBN Perubahan 2012 sebesar Rp168,87 triliun merupakan hal yang positif untuk mendorong pembangunan infrastruktur.
Namun langkah-langkah antisipasi yang diambil Eropa akan mampu meredam gejolak krisis. Penanganan krisis Eropa dalam beberapa bulan terakhir sudah cukup baik. Namun untuk benar-benar bisa mengatasi krisis keuangan Eropa, harus dilakukan tindakan lebih jauh sekarang juga. Pembuat kebijakan tidak bisa ongkang-ongkang kaki saja. Eropa harus mengatasi berbagai masalah dalam kesepakatan sektor perbankan lintas batas. Pengawasan Eropa, jaminan sistem deposit Eropa dan sebuah sistem dimana risiko dibagi antara negara, misalnya melalui Eurobonds, bisa digunakan untuk menghindari masalah di masa depan. Bank-bank lemah harus ditangani oleh Dana Eropa yang berkepentingan terhadap bank.
Terakhir, Eropa harus memperkuat cadangan dana krisis yang mereka miliki untuk menahan gempuran krisis keuangan. The European Financial Stability Facility and European Stability Mechanism saat ini tercatat memiliki dana cadangan hingga 740 miliar euro.

      Kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah, krisis ekonomi apapun harus ditanggulangi dari pengaturan sistem ekonomi maupun politik sehingga ekonomi sebuah negara atau seluruh dunia dapat bertahan dan berjalan secara stabil.